Jumat 14 Feb 2020 05:07 WIB
korupsi

Belajar Dari Isu Korupsi dan Teror Bersenjata di Thailand

Bisakah kita atasi korupsi lebih baik dari Thailand

Polisi Thailand melakukan olah tempat kejadian perkara insiden penembakan di Mal Terminal 21 Korat, Nakhon Ratchasima, Thailand, Ahad (9/2).
Foto: AP/Sakchai Lalitkanjanakul
Polisi Thailand melakukan olah tempat kejadian perkara insiden penembakan di Mal Terminal 21 Korat, Nakhon Ratchasima, Thailand, Ahad (9/2).

Oleh: Dipo Alam Sekretaris Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014); Sekretaris Jenderal D-8 (Developing Eight), Istanbul, Turki (2006-2010)

 

Drama penembakan massal yang dilakukan oleh oknum tentara Thailand telah berakhir hari Minggu, 9 Februari 2020, kemarin. Sesudah beraksi selama 16 jam, pelakunya, Jakrapanth Thomma, akhirnya berhasil ditembak polisi. Aksi penembakan yang menewaskan 29 orang dan melukai puluhan lainnya itu pantas membuat kita waspada. Sebab, ada isu sengketa dan korupsi yang menyeruak di balik peristiwa nahas tersebut.

 

Sebagaimana diakui oleh Panglima Militer Thailand Jenderal Apirat Kongsompong dalam konferensi pers hari Selasa, 11 Februari 2020, kemarin, pihak militer kini sedang menyelidiki Kolonel Anantharot Krasae, salah satu korban aksi penembakan kemarin, terkait isu kecurangan dan sengketa tanah sebagaimana dituntut oleh Thomma sebelum melakukan aksi brutalnya. Apirat mengatakan bahwa komandan tersebut telah mengambil suatu keuntungan dari Thomma dalam kesepakatan tanah di mana ada sebuah perjanjian yang dilanggar oleh komandan tersebut. Sebelum melakukan aksi brutalnya, Thomma memang diketahui sempat mengunggah status yang menyinggung soal kekayaan dan ketamakan di akun media sosialnya.

 

Meskipun secara formal pemberantasan korupsi menjadi salah satu fokus pemerintah Thailand, namun konstitusi baru negara itu telah memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada rezim militer, sehingga merenggut kebebasan berdemokrasi dan pengawasan yang independen atas kinerja pemerintah. Itu sebabnya, merujuk kepada Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index, CPI) yang disusun oleh Transparansi Internasional, skor CPI Thailand cenderung stagnan. Dalam tiga tahun terakhir, skor CPI Thailand secara berturut-turut adalah 37 (2017), 36 (2018) dan 36 (2019).

 

Salah satu penyumbang rendahnya skor indeks tadi adalah korupsi yang terjadi di sektor publik, termasuk dalam bidang administrasi pertanahan di Thailand. Ini diperparah oleh korupsi yang juga terjadi di lembaga peradilan. Menurut The Bertelsmann Foundation Transformation Index (BTI), meskipun Thailand memiliki program anti-korupsi, namun penegakannya sangat bervariasi, di mana kasus-kasus korupsi tingkat tinggi tidak pernah benar-benar terjangkau oleh hukum. Sebenarnya, sebelum terjadinya kudeta militer tahun 2014, Thailand memiliki peradilan yang secara konstitusional independen.

Namun, di bawah junta militer, lembaga peradilan telah dikontrol oleh kepentingan politik, sehingga tak lagi berfungsi sebagai pengawas bagi eksekutif. Sebagaimana diakui oleh NACC (The National AntiCorruption Commission), atau KPK-nya Thailand, sektor publik masih dipenuhi oleh kolusi dan korupsi, di mana kasus penyalahgunaan kekuasaan, standar ganda, serta intervensi terhadap organisasi independen mudah sekali ditemui.

 

Lantas, apa hubungan semua itu dengan aksi brutal penembakan yang dilakukan oknum tentara Thailand kemarin?

 

Saya sependapat dengan seorang pejabat Human Rights Watch, sebagaimana dikutip The New York Times, yang menyatakan jika peristiwa tersebut tidak boleh dilihat hanya sebagai kasus individu Sersan Mayor Jakrapanth Thomma dengan atasannya Kolonel Anantharot Krasae belaka. Kasus tersebut harus juga dilihat dari kacamata lebih luas. Saya menyebutnya sebagai sudut pandang struktural, yang melihat sebuah persoalan berdasarkan relasinya dengan sejumlah faktor sosial, ekonomi dan politik sekaligus. Di situlah isu korupsi mencuat. Korupsi, serta penyelewengan kekuasaan yang merajalela, bisa membuat orang merasa frustrasi. Ditambah oleh tekanan ekonomi, rasa frustrasi itu bisa meledak menjadi apa saja, termasuk tindakan brutal sebagaimana yang terjadi kemarin.

 

Di sisi lain, tingkat ketimpangan ekonomi di Thailand juga tergolong buruk. Dua tahun lalu, menurut data dari Global Wealth Report 2018 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, Thailand menjadi negara dengan tingkat ketimpangan kekayaan terburuk di dunia.  Satu persen orang terkaya di Thailand menguasai 66,9 persen total kekayaan negara itu. Angka ini lebih buruk dari Rusia (57,1 persen), Turki (54,4 persen) dan India (51,5 persen). Padahal, dua tahun sebelumnya (2016), Thailand masih berada di peringkat ketiga setelah Rusia dan India. 

 

Jika kita merujuk pada sejumlah studi, seperti Elise Must (2016), atau Klaus Abbink, et. al. (2008), ketimpangan memiliki relasi kuat dengan munculnya konflik dan ketegangan sosial, termasuk dalam memicu munculnya kerusuhan (riots). Itu sebabny,a ketamakan dari segelintir orang, atau sekelompok masyarakat tertentu, tidak bisa dianggap sebagai urusan

personal belaka, sebab perkara itu bisa memicu terjadinya konflik luas. Dalam konteks itulah kenapa kasus penembakan yang terjadi di Thailand perlu dilihat dari layar yang lebih lebar (wide screen).

 

Sebagai catatan, meskipun aksi penembakan massal yang dilakukan oleh oknum tentara kemarin baru pertama kali terjadi, bukan hanya di Thailand, namun mungkin juga di Asia Tenggara, namun itu bukanlah aksi bersenjata pertama yang mencuat di negeri gajah putih tersebut.

Pada Oktober 2019, misalnya, seorang hakim di pengadilan Thailand Selatan menembak dadanya sendiri di hadapan sidang yang penuh sesak. Aksi nekat itu dilakukan setelah ia memutus bebas beberapa tersangka pembunuhan. Pada saat kejadian, hakim bersangkutan menyampaikan kutukannya terhadap sistem peradilan Thailand. Sehingga, dugaan adanya sejenis frustrasi sosial di balik peristiwaperistiwa itu memang tidak bisa diabaikan. 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement