Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Beberapa tahun silam ada seorang peneliti dari Amerika Serikat datang ke kantor Republika. Dia bule dan terkenal sebagai seorang Indonesianis dalam bidang jurnalistik. Dia tengah mengamati soal hubungan media dan umat Islam di Indonesia. Hal yang sama juga telah dia lakukan di Malaysia.
Sudah biasa awak Republika terlibat dalam sibuah diskusi yang intens. Tapi tiba-tiba di bagian tengah-tengah diskusi dia nyerocos tak keruan dengan mengatakan: Tidak ada ekspresi negara Islam di Indonesia! Omongan dia jelas membuat kami terkejut. Namun dia terus yakin bila omongannya benar. Dia bicara terus dan terus.
Di ujung debat ada seorang rekan menanggapi soal argumentasinya itu. Dia bantah bila tidak ada ekspresi negara Islam di Indonesia. Sang rekan bicara: justru semenjak awal soal ekpresi soal negara Islam itu sudah ada. Dan ini jelas terlacak dalam risalah debat sidang BPUPKI, beberapa bulan sebelum Indonesia merdeka.
''Coba lihat dan baca apa argumentasi Ki Bagus Hadikusumo di rapat sidang BPUPKI. Dia ingin Indonesia merdeka berdiri dengan dasar negara Islam. Dan tak hanya dia, saat itu tokoh Islam lain seperti Hasyim As'ari dan hingga KH Sanusi juga sejalan dengannya. Debat ini berlangsung seru! Jadi tak benar alias sesaat bila dikatakan tidak ada ekpresi pendirian negara Islam ketika Indonesia akan didirikan,'' katanya.
Tak cukup dengan itu dia kemudian mencontohkan adanya 'general agreement' dalam sidang PPKI pada 22 Juni, yakni Piagam Jakarta, hingga perumusan sila pertama dari Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. "Ingat yang melobi hingga menjadi rumusan piagam Jakarta, yakni Soekarno sendiri sebagai Ketua Panitia sembilan PPKI yang juga telah berpidato mengenai Pancasila pada 1 Juni 1945. Selain dia Moh Yamin juga bicara soal dasar negara. Bahkan, kata Pancasila terindikasi berasal dari pilihan Moh Yamin. Sebab, dialah yang paham bahasa Sansekerta."
Nah, bila hari-hari ini tiba-tiba Ketua Badan Pengarah Ideologi Pancasila (BPIP) yang baru dilantik dan omongannya bikin heboh media, yakni bila agama adalah lawan dari Pancasila, maka jelas absurd. Beberapa tahun silam, ketika hendak ditetapkan Pancasila sebagai salah satu bagian dari istilah empat pilar pada zaman Ketua MPR Taufik Kiemas, pun sudah ada protes yang 'semeriah' ini. Kala itu mendiang Wakil Ketua MPR, AM Fatwa, sempat khusus datang ke redaksi Republika untuk menyatakan menentang itu, terutama karena Taufik Kiemas menetapkan Pancasila yang dipakai sebagai salah satu pilar itu adalah Pancasia yang lahir dalam pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 itu.
''Tidak benar itu. Pancasila menjadi dasar negara baru tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan ditetapkan konstitusi negara UUD 1945. Kalau menuruti pemahaman Taufik lalu pertanyaannya kemudian di mana letak rumusan lima sila yang ada pada Piagam Jakarta. Ingat pigam Jakarta juga menjadi dasar kembalinya ke UUD 1945 oleh Bung Karno pada tahun 1959 dulu. Pidato 1 Juni itu hanya pendapat Sukarno. Sedangkan resmi menjadi dasar negara itu baru pada 18 Agustus 1945. Dan rumusan silanya pun sudah beda,'' kata Fatwa saat itu.
Lucunya apa yang dikatakan Fatwa kemudian saat itu sebangun dengan sikap sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola. Dia mengatakan Taufik Kiemas tidak paham baik arti dan istilah mengenai dasar dan pilar.''Taufik tidak paham,'' katanya. Soal ini kemudian Thamrin Tomagola ulangi pada diskusi di corong RRI di Gedung DPD RI. Dan di waktu terkini ada juga kehebohan dengan adanya sikap melawan arus pengajar filsafat, Rocky Gerung. Dia berkata bahwa Pancasila bukan ideologi negara, melainkan dasar falsafah (Philosofische Gronslag)
*****
Bila dirunut ke belakang lagi pernyataan 'agama adalah lawan Pancasila' juga bukan hal baru. Di jaman DN Aidit menjadi penguasa Partai Komunis Indonesia dia juga mengatakan 'justru yang paling Pancasilais adalah PKI, bukan Masyumi (partai politik berbasis pada umat Islam). Omongan Aidit ini diucapkan dalam sebuah acara kampanye terbuka di Malang pada musim kampanye Pemilu 1955. Saat itu Aidit pun diserbu massa mau dipukuli banyak orang di tengah lapangan hinga ditarik turun dari atas mimbar. Aidit pun pucat pasi. Dia selamat dari amukan setelah minta maaf, meski beberapa hari ke berikutnya meralat permintaan maaf itu seraya mengatakan itu merupakan insiden provokasi kader Masyumi kepadanya.
Dan sikap Aidit seperti tersebut, kalau disimak pada tulisan dan pidatonya, memang terasa berusaha keras membenturkan Pancasila dengan agama. Di banyak kesempatan dia terus membuli Masyumi yang disebutnya sebagai 'Sarekat Hijau' atau DII/TII versi baru, dan terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta.
Ketegangan ini terus berlanjut memasuki masa Orde Baru. Rezim Soeharto pada awalnya terlihat 'abstain' dalam agama. Kalau Islam pun termasuk dalam kategori Islam minimalis alias bercorak abangan. Usaha ini seperti pernah dicoba diluruskan oleh Bung Hatta melalui pendirian sebuah partai Islam menjelang tahun 1970. Tapi partai ini gagal berdiri karena tak mendapat izin dari rezim. Alasannya kemudian teraba bila rezim Orde Baru juga diam-diam risau dan curiga bahwa masih ada 'gerilya kembali ke aturan Pigam Jakarta' alias kembali ke negara Islam.
Dan usaha mendamaikan antara agama dan Pancasila selama Orde Baru juga dilakukan. Ini misalnya dengan pernyataan dari Menteri Agama pada dekade akhir 1970-an, H Alamsyah Ratu Prawiranegara yang mengatakan Pancasila itu merupakan hadiah terbesar dari umat Islam kepada bangsa Indonesia.