Kamis 26 Mar 2015 15:00 WIB

SMA Bukateja Purbalingga Produksi Film Fiksi

Aksi pelajar SMU Bukateja memproduksi film pendek.
Foto: dok CLC Purbalingga.
Aksi pelajar SMU Bukateja memproduksi film pendek.

REPUBLIKA.CO.ID, PURBALINGGA -- Realita tingginya angka perceraian di Purbalingga beberapa tahun terakhir ini disebabkan beberapa persoalan. Salah satu persoalan yang mendominasi yaitu faktor ekonomi. Uniknya, yang melakukan gugat cerai itu kebanyakan dari pihak perempuan. Fakta ini disebabkan lapangan pekerjaan bagi perempuan yang terbuka lebar sementara tidak bagi laki-laki.

 

Kenyataan di atas menggelitik para pelajar SMA Bukateja Purbalingga yang tergabung dalam Sabuk Cinema ekstrakulikuler sinematografi untuk menuangkannya dalam medium film pendek. Mereka memproduksi film bertajuk "Gugat Pegat" (Gugat Cerai) pada Rabu, 25 Maret 2015 dari sore hingga tengah malam.

 

"Riset cerita yang kami bangun, berangkat dari berita-berita media massa lokal tentang tingginya angka perceraian di Purbalingga. Kami menganalisa bahwa keberadaan banyaknya pabrik bulu mata dan wig tidak pernah diperhatikan efek negatifnya oleh pemangku kebijakan," tutur Laurelita Gita Prischa Maharani, penulis skenario sekaligus sutradara dalam siaran kepada Republika Online baru-baru ini.

 

Laurelita menambahkan, keberadaan pabrik bulu mata hingga plasma yang sampai ke pelosok desa, didominasi pekerja perempuan. "Pada akhirnya, banyak kaum lelaki yang pengangguran. Kami merasa, fenomena ini penting untuk diangkat dalam film," jelas siswi yang masih duduk di bangku kelas X ini.

 

Skenario film pendek "Gugat Pegat" bercerita tentang seorang pasangan muda, Malik dan Hani. Hani bekerja di salah satu plasma rambut palsu, sementara suaminya, Malik seorang sarjana pengangguran. Setiap hari, kesibukan Malik mengantar istrinya ke tempat kerja dan menulis lamaran pekerjaan yang tak kunjung diraihnya.

 

Keadaan keluarga yang demikian, membuat Hani tidak tahan, terlebih Malik selalu membanggakan ijazah kesarjanaannya, padahal di kota mereka tinggal, meskipun mempunyai gelar sarjana tidaklah berguna sampai persoalan keluarga itu mencapai puncaknya.

 

Guru pembina ekskul sinematografi Meinur Diana Irawati mengatakan, seperti tahun-tahun sebelumnya, produksi film tidak hanya melibatkan siswa sebagai pemain film. "Guru dan staf pun dilibatkan. Bagi kami, film selalu membawa pengalaman baru yang menyenangkan," ungkap guru mata pelajaran Ekonomi ini.

 

Keberadaan ekskul sinema di SMA Bukateja sejak 2010 ini termasuk kegiatan siswa yang mampu bertahan hingga sekarang. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, produksi tahun ini juga untuk diikutsertakan pada Kompetisi Pelajar Banyumas Raya Festival Film Purbalingga (FFP) 2015.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement