REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pekan kemarin jadi waktu yang produktif bagi seniman muda Bathara Saverigadi Dewandoro. Seniman yang sejak lama memilih tari sebagai media dalam menyampaikan pengalaman kerohanianya ini menghadirkan dua karya apik.
Pertama adalah tari kontemporer bernuansa tradisi Betawi bertajuk "Duh" yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Ahad (1/5). Sementara kedua karya berjudul "Harga Diri" yang digelar saat momen Hari Bebas Kendaraan, tepatnya di depan FX Plaza, Senayan, Jakarta, Ahad (8/5) kemarin.
“Duh” adalah ungkapan keprihatinan atas kondisi sosial saat ini. Merupakan refleksi pemikiran dan gerakan revolusi mental yang pernah dicetuskan Presiden RI, Ir. Soekarno.
“Lewat karya ini kami mengajak masyarakat melawan kemiskinan jati diri, kemiskinan budaya, kemiskinan ekonomi, dan kemiskinan kreativitas. Sebuah gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru, berhati putih, berkemauan baja, bersemangat Elang Rajawali dan berjiwa api,” ujar Bathara Saverigadi Dewandoro kepada Republika.co.id usai aksinya, akhir pekan kemarin.
“Harga Diri” juga menjadi gambaran keprihatinan Bathara terhadap penggunaan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa asing kerap dianggap lebih bergengsi. Melalui garapan tarinya, secara naratif Bathara mengkritik papan nama dan berbagai tulisan di pusat-pusat perbelanjaan, apartemen, rumah sakit, sekolah, produk bisnis dan bahkan lembaga Pemerintah, yang tak sadar meninggikan harkat bangsa asing dan merendahkan martabat bangsa sendiri.
“Terkadang kita merasa asing di negeri sendiri. Bahasa atau tulisan di ruang publik kita tak mencerminkan wajah Indonesia. Secara sadar kita telah mengabaikan bahasa Indonesia,” ungkap Bathara prihatin.
Didukung 18 penari dan 15 pemusik yang semuanya pemuda, “Duh” menghipnotis sekitar 400 penonton.