REPUBLIKA.CO.ID,Apa yang paling dirindukan saat Ramadhan? Ketika pertanyaan tersebut ditanyakan kepada saya sekitar 5 sampai 10 tahun lalu, maka jawaban saya sederhana. “Saya merindukan es kelapa muda dan kurma yang hadir di setiap buka puasa” atau “saya ingin makan mie rebus dengan telur dadar saat sahur” atau “tentu saja, nggak sabar untuk menanti saat-saat pulang kampung ke Solo”.
Siapa sangka, beberapa tahun kemudian saya merasakan Ramadhan di negeri orang lain, jauh dari keluarga dan memaksa saya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat saya tinggal. Rasa berat dan keluhan, selalu menghiasi setiap jengkal ruang hati kami dalam menunaikan ibadah. Akan tetapi, semangat untuk ikhlas dan berusaha menuai rahmat Allah SWT, tidak menyurutkan niat dan kemauan kami untuk berpuasa dan melaksanakan ibadah wajib serta sunnah sepanjang Ramadhan.
Dua kali saya melaksanakan Ramadhan di negeri orang, yakni di Taiwan dan Korea Selatan. Di kedua tempat tersebut, saya tidak sendirian dalam merasakan beratnya melaksanakan ibadah puasa, ada teman-teman muslim lain yang harus menunaikan Puasa Ramadhan sekaligus menunaikan tugas suci sebagai seorang mahasiswa.
Adalah Brianti, Irma, Walaa dan Mahmoud, teman-teman saya sesama muslim yang berjuang untuk menyelesaikan studi di Taiwan, tepatnya di National Taiwan University of Science and Technology (NTUST). Bagi Brianti yang sudah berjilbab sejak 6 tahun lalu, kesulitan sepanjang Ramadhan ini hanya ketika banyak teman-teman terdekat pulang dan merayakan Idul Fitri di kampung halaman.
Namun, rasa rindu tersebut dapat terobati ketika berkumpul bersama teman-teman muslim lain, yang juga tidak pulang kampung dan merayakan Idul Fitri.
Lain lagi dengan Irma yang memang tidak selalu menunaikan ibadah suci Ramadhan di Indonesia, baik karena alasan studi. Hal yang paling dia rindukan ketika Ramadhan adalah Banjarmasin, kampung halamannya. Setiap Ramadhan, selalu ada Pasar Wadai (Pasar Kue) yang menjadi tradisi penduduk Banjarmasin untuk tempat ngabuburit, serta masakan lezat buatan ibunda tercinta, yang selalu tersedia saat sahur dan berbuka.
Berbeda lagi dengan Walaa dan Mahmoud, mahasiswa NTUST yang berasal dari Yordania dan Mesir. Mereka berdua pun merasakan kehilangan tersendiri saat harus ber-Ramadhan di negeri Formosa tersebut. Kebersamaan keluarga yang ada ketika sahur dan berbuka, serta sholat tarawih dan tahajud bersama begitu mereka rindukan. Soal tradisi Idul Fitri jangan ditanya, keluarga Mahmoud biasa menyediakan “Homemade Cookie Egyptian Style” untuk menyambut Idul Fitri, sedangkan di Yordania, keluarga Walaa menyiapkan aneka manisan, mendekorasi rumah, sampai membeli baju baru agar Idul Fitri semakin semarak.
Lain di Taiwan, lain pula di Korea Selatan. Walau baru satu semester, Alhamdulillah, saya berkesempatan untuk menempa diri dengan melewatkan Ramadhan disini. Terlepas dari panjangnya jarak antara waktu Shubuh dan Maghrib, yaitu kurang lebih 17 jam. Hambatan lain yang berarti hanyalah panas menyengat yang membuat rasa kering di tenggorokan dan menggoda kami dengan rasa haus.
Melaksanakan puasa jauh dari keluarga tidak harus membuat kami merasa sedih dan kesepian. Tentu saja, kami merindukan kebersamaan saat sahur dan berbuka dengan keluarga, namun keluarga baru yang menemani kami ber-Ramadhan pun tidak kalah menyenangkan. Baik di Taiwan ataupun di Korea Selatan, saya melewati waktu-waktu yang berkesan karena kebiasaan-kebiasaan baru di saat sahur dan berbuka tersebut. Ditambah lagi, kesempatan untuk mempererat silahturahmi serta berkenalan dengan saudara-saudari muslim dari belahan dunia yang berbeda.
Hari pertama tiba di Taipei, saya ikut berbuka di Taipei Grand Mosque, dimana hidangan berbukanya jauh lebih komplit ketimbang di rumah. Ada bubur kacang hijau atau sup-sup dingin untuk takjil dan masakan timur tengah yang memenuhi meja. Tidak ketinggalan, kurma, buah-buahan dan teh susu sebagai pelengkap. Saat sahur, tidak kalah banyak pula makanan yang tersedia. Apakah itu makanan dari masjid yang dihangatkan kembali, ataukah masakan eksperimen dari teman-teman yang sedang kena giliran masak, semuanya ludes dan dimakan dengan penuh syukur.
Dua tahun kemudian, ketika akhirnya saya memperoleh kesempatan untuk menghabiskan Ramadhan di Korea Selatan, saya kembali menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Karena tidak tinggal di dormitory, kami pun leluasa untuk bereksperimen masakan apa saja untuk makanan sahur dan berbuka.
Setiap harinya, di Masjid Al-Fattah Busan pun disediakan makanan berbuka bagi para jamaah yang berasal dari dalam dan luar Korea Selatan. Sama persis seperti saat masih di Taiwan. Makan bersama dalam satu meja bundar yang besar. Bila masih ada sisa makanan, biasanya boleh dibawa pulang untuk dimakan saat sahur. Es buah, kurma dan hidangan penutup lainnya pun tidak ketinggalan. Bahkan setiap Ahad, kami berkesempatan mencicipi masakan negara lain, sesuai dengan jadwal donaturnya.
oleh: Mughniyah Ludiansari (Doctoral Student, Departement of Civil Engineering and Environment, Pusan National University. Busan, South Korea)