Setidaknya, itulah kesan yang saya dapat setelah (untuk kesekian kalinya) menonton "Dead Poets Society". Film yang dirilis tahun 1989 ini, berkali-kali tetap memaku saya duduk menonton dengan manis tanpa ada rasa bosan. Dibintangi antara lain oleh Robin Williams dan Ethan Hawke, film ini membawa kritik mengenai bagaimana seharusnya pendidikan diberikan.
Tokoh sentral dalam "Dead Poets Society" adalah John Keating (diperankan secara apik oleh Robin Williams), seorang guru sastra yang mengajar murid-muridnya dengan gaya yang "tak biasa". Alih-alih menyuruh para murid untuk membaca dan menghafalkan berbagai definisi, ia membawa anak didiknya dengan kebebasan berpikir dan keberanian berpendapat. Jargon yang ia tebarkan adalah "carpe diem" atau "seize your day" (rebutlah harimu), sebuah motivasi luar biasa bagi siapapun untuk berdiri tegak dan percaya diri melawan dunia.
Ajaran Keating bukan tidak mengundang reaksi. Murid-murid terperangah, dewan sekolah pun gerah. Namun, pesona membebaskan diri yang diusung guru yang satu ini memang ajaib. Sedikit demi sedikit, beberapa murid mulai menyadari apa sesungguhnya yang mereka inginkan dalam hidup, bukan yang mereka harus (karena tuntutan tertentu) lakukan.
Senada tapi tak sama, yakni film "Monalisa Smile" yang dibintangi Julia Roberts di tahun 2003. Roberts yang berperan sebagai guru seni, menginspirasi sekumpulan murid perempuan di tahun 1950-an yang masih terikat erat dengan tradisionalisme, di mana perempuan tidak dituntut oleh sekolah tinggi, melainkan hanya menjadi seorang istri (yang baik).
Roberts yang sudah berusia 33 tahun dan masih single menjadi bahan gosip para murid. Karena pada zaman itu, langka sekali ada perempuan seusia Roberts yang belum menikah. Meski bernuansa feminisme dari sudut tertentu, film ini sama menariknya, karena mengusung tema yang serupa; You have to be able to free in deciding what's best for you. Kira-kira seperti itulah.
Guru (seharusnya) menuntun pada solusi, memberikan jalan, membebaskan. Itulah kesan yang saya dapat.
Sayangnya, pendidikan di Indonesia masih jauh dari itu. Guru-guru di Indonesia masih sedikit yang seperti itu. Masih banyak orang tua yang memaksakan kehendak. Hasilnya adalah anak didik yang terjepit di tengah-tengah; Membenci pelajaran di sekolah, meledek cara guru mengajar, dan diam-diam bosan dengan ocehan orang tua tentang masa depan yang "sudah ditentukan".
Mengapa mesti belajar Matematika hingga yang sulitnya bikin kepala serasa botak? Mengapa harus susah-susah menghafal tanggal kematian Pangeran Diponegoro dan berbagai perang yang terjadi? Mengapa mesti menghafal sekian bentuk kalimat yang bahkan tak pernah terpakai dalam percakapan?
Mengapa guru memberikan timbunan pekerjaan rumah tanpa menjelaskan esensi dari pelajaran yang ia berikan? Mengapa jawaban ulangan mesti "harus sama" dengan buku? Mengapa guru tak bisa diajak curhat seperti kepada teman?
Mengapa anak pintar selalu yang Matematika, Fisikanya bagus? Yang mendapat peringkat di sekolah? Yang pintar bernyanyi, bagaimana? Yang pandai berpidato, bagaimana? Yang setia kawan dan gampang berteman, tidak pintarkah? Yang jago basket dan lari cepat, tidak pintarkah? Yang jago melukis, yang pandai berpuisi, yang senang dengan alam... yang biasa saja tapi mencintai semua orang...
Mengapa yang keren itu kalau masuk jurusan IPA? Mengapa yang keren itu jadi dokter, pengacara, pengusaha, arsitek? Kalau ingin jadi penyair saja bagaimana? Penulis? Pustakawan? Arkeolog?
Mengapa tak ada guru atau orang tua yang mengatakan, "Ambillah jurusan yang kamu sukai, pelajarilah yang kamu sukai, soal manfaat atau tidak, nanti kau yang rasakan sendiri."
Ah, sudah terlalu sering saya utarakan pada para murid betapa saya ingin punya sekolah menengah yang membebaskan siswa untuk belajar yang mereka sukai saja. Berikan saja beberapa mata pelajaran wajib, sisanya mereka pilih sendiri. Ide gila yang entah bisa terwujud atau tidak.
Saya ingin setiap anak bebas mengeksplorasi ilmu, diberikan kebebasan untuk bertanya apapun pada gurunya, tanpa ada batasan. Tugas guru hanya memandu, bukan mendikte, menunjukkan bukan membawa.
Saya ingin ada anak yang mengatakan, "Saya pilih jurusan ini karena saya suka... karena ini menyenangkan, karena ini membuat saya betah di sekolah..." Bukan murid yang mengatakan, "Habis, ini disuruh mamah/papah..."
Saya ingin di usia belia mereka sudah mantap mengatakan apa keinginan mereka. Bukan raut wajah kebingungan memilih jurusan ketika sudah lulus.
Bagaimana bisa murid tidak menyontek, kalau guru masih mengajar dengan sistem menghafal? Ya teranglah mereka akan memilih meng-"copy paste" jawaban dari buku biar dapat nilai bagus. Bagaimana bisa murid suka membaca, jika guru tidak memperkenalkan indahnya buku, jika tak pernah mendongengi murid dengan menarik? Bagaimana bisa murid pandai Matematika, jika guru tidak mengajarkan berhitung lewat permainan?
Bagaimana murid bisa berkembang, jika berpikir atau berkata sedikit saja di luar "batas", guru langsung mencap "nakal"? Dan bagaimana tidak bermasalah, jika orang tua tidak memerhatikan, dan (juga) mendikte?
Di akhir film "Dead Poets Society", salah satu murid Keating berakhir mati dengan cara bunuh diri. Ia merupakan siswa cerdas dengan semua nilai A, namun ia mencintai akting, dan itu tak disukai ayahnya. Meski sudah berulangkali menonton ini, saya tetap "nyesek". Ada apa sih dengan para orang tua ini? This is your son/daughter's life, for God sake...
Murid (seharusnya) mencintai sekolah. Anak dan remaja (seharusnya) mencintai hidupnya yang bahagia.
Irma Susanti
Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas penulis perempuan Women Script & Co