Aku mengangkat judul tersebut, karena seringkali orang tua, terutama ibu, panik saat membaca salah seorang pakar psikologi memaparkan ilmu mereka. Begini contohnya.
Salah seorang temanku yang sedang kuliah S2 jurusan psikologi universitas ternama mengatakan, "Menurut penelitian, jika anak di usia 1-3 dibiasakan dengan menonton TV, maka salah satu kecerdasan mereka akan hilang. Kelak efeknya anak akan tidak konsentrasi terhadap pelajarannya atau ada tingkah aneh yang mengganggu belajarnya."
Aku yang mendengar teori itu langsung panik, "Waduh anakku sering nonton VCD-VCD Islami anak-anak dan TV kabel saluran anak-anak, karena aku memang melarang ia nonton acara TV biasa, bagaimana nih?" Temanku mengategorikan hal tersebut sama dengan menonton TV, padahal usia anakku sudah 3 tahun saat aku mengetahui hal tersebut.
Konsultan pendidikan di sekolah kami yang sedang kuliah S3 bidang pendidikan mengatakan, "Menurut penelitian, anak-anak yang dalam sekolahnya belajar dengan bangku yang monoton menghadap ke guru (seperti posisi bangku saat zaman aku sekolah dulu), maka kecerdasannya terkekang dan memungkinkan kelak dewasa ia akan melampiaskannya dengan sikap buruk salah satunya adalah tawuran."
Temanku yang anaknya disekolahkan di sekolah negeri (yang masih banyak menggunakan formasi tempat duduk anak seperti aku tulis di atas) tidak terima dengan teori tersebut. Sedangkan jika dipindahkan ke sekolah swasta, yang uang sekolahnya 3 kali lipat uang bayaran kuliah universitas swasta era 90-an, ia tidak sanggup.
Tetanggaku saat arisan mengundang temannya yang lulusan S1 jurusan psikologi ternama untuk sharing tentang kecerdasan anak. Beliau mengatakan, "Jika ada orang tua yang menyekolahkan anaknya ke SD (sekolah dasar) di usia 5,5 tahun adalah suatu penganiayaan mental terhadap anak tersebut. Karena pada usia tersebut kematangan emosional sang anak belum sempurna. Kelak membuat anak menjadi tertekan dan stres."
Salah seorang tetanggaku yang anaknya masuk SD di usia 5,5 tahun langsung bingung, karena anaknya kini sudah kelas 4 SD. Ia bertanya,"Bagaimana dengan yang sudah telanjur?"
Saat mereka ditanya,"Lalu bagaimana solusinya bagi kami yang sudah telanjur?" Mereka tidak memberikan solusinya. Jawaban dari pertanyaan solusi dibuat ngambang, secara tidak langsung mereka seolah mengatakan bahwa mereka tak tahu jawabannya.
Aku jadi teringat ucapan salah satu temanku yang juga lulusan psikologi di universitas ternama, beliau berkata, "Banyak teori psikologi yang saya pelajari bertentangan dengan hadis Rasulullah Saw."
Nah, lho. Jadi bagaimana ini? Menurut saya, solusinya adalah berpikir bijaksana.
Apa yang para pakar psikologi paparkan adalah ilmu yang mereka pelajari selama kuliah. Tentunya, semua ilmu itu adalah baik selama kita menyikapinya dengan baik pula. Kita bisa menjadikan ilmu tersebut sebagai rambu, agar kelak kita mampu mendidik diri kita juga generasi selanjutnya dengan baik.
Sedangkan bagi kita yang sudah "telanjur", kita tidak perlu panik ataupun kecewa, kita kembalikan semua kepada Allah. Ilmu yang mereka paparkan, hanyalah kesimpulan yang diambil dari hasil pemikiran manusia. Sedangkan kuasa Allah mampu mengubah segalanya, bahkan hal yang dalam pikiran manusia tidak mungkin sanggup Allah ubah.
Allah telah menciptakan beragam sifat manusia di dunia. Keragaman sifat manusia tersebut tidak bisa disamaratakan menjadi satu kesimpulan penelitian, seperti yang dilakukan oleh para pakar psikologi. Tapi keragaman sifat tersebut diciptakan semata-mata agar kita bertaqwa dengan mengambil berbagai hikmah yang tersebar di dalamnya.
Jika kita mengharapkan "yang telanjur" menjadi yang lebih baik, hanya doa ikhlas yang sanggup mengubahnya. So, selama napas masih terembus dari raga kita, kita masih punya kesempatan menjadi yang terbaik. Allah Maha Mengetahui segalanya.
***
Ade Ummi Fikri
Seorang guru SD, penulis, dan ibunda tercinta dari Fikri yang bertempat tinggal di Depok. Beliau dapat dihubungi melalui [email protected] atau tweet di @ummifikri
Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas penulis perempuan Women Script & Co