Apa? Buku tentang pengasuhan anak? Yang benar saja. Saya masih belum menikah, buat apa saya melakukannya? Tetapi kemudian Bunda Chichi memberikan argumen yang masuk akal. Bagi yang belum menikah, buku parenting penting agar kita tahu apa yang kita hadapi kelak. Bahkan beliau telah membaca buku parenting sejak SMA.
Buku parenting sama pentingnya dengan buku self help yang mengajari kita untuk menjadi pribadi lebih baik, buku agama yang mengajari cara menjalani hidup sesuai ajaran-Nya dan buku finansial yang memandu kita dalam mengatur keuangan. Bagaimana mungkin kita bisa mengabaikan buku parenting sementara kelak, sebagian besar hidup kita (setidaknya selama 20 tahun yang kedengarannnya seperti hukuman penjara), dihabiskan untuk merawat anak?
Saya jadi teringat kasus penyiksaan terhadap anak yang dalam beberapa hal kebablasan menjadi kasus pembunuhan. Banyak dari mereka yang memukul anak memberikan alasan bahwa anak rewel, tidak patuh, dan sebagainya. Namun, mungkin sudut pandang ini harus dibalik. Apakah benar anak yang "nakal" atau orang tua yang tidak tahu bagaimana menjadi orang tua yang baik?
Belum lagi kasus-kasus di mana orang tua justru terlalu permisif terhadap anak yang pada akhirnya mungkin bisa menjerumuskan anak ke dalam kasus yang tak kalah peliknya: pergaulan bebas, narkoba, dan sebagainya. Seandainya saja orang-orang itu lebih banyak membaca buku parenting, yang memberikan pengetahuan lebih dalam dari apa yang diketahui orang tua kita, tentunya mereka akan lebih mampu menghadapi masalah anak lebih bijak.
Maka, saya mulai mencari buku-buku parenting yang cocok untuk saya. Tidak mudah bagi saya untuk memaksakan diri membaca buku parenting. Eugh, membaca tentang cara mengganti popok atau menghadapi tantrum? Apa serunya? Lebih baik saya kembali ke novel pembunuhan saja. Rasanya lebih asyik membaca penjahat-penjahat yang berusaha menguasai dunia daripada membaca masa depan saya berwujud "monster kecil" yang berusaha menguasai hidup saya.
Tetapi kemudian saya berpikir, mungkin pilihan buku saya yang salah. Terlalu mengerikan bagi saya untuk membaca soal popok atau mengatasi jeritan tangis bayi. Jadi, saya memilih bacaan yang lebih saya sukai: psikologi.
Buku pilihan saya adalah Berbicara Agar Anak Mau Mendengar dan Mendengar Agar Anak Mau Bicara karya Adele Faber & Elaine Mazlish (Buah Hati, 2009). Dari situ saya belajar betapa banyak kesalahan komunikasi yang dilakukan orang tua kepada anaknya yang pada akhirnya membuat hubungan orang tua dan anak justru seperti dua kubu yang bermusuhan. Padahal dengan trik komunikasi yang tepat, "musuh" bisa kita taklukkan dan bahkan menjadi satu kubu dengan kita.
Buku lain yang tengah saya baca adalah Rising Your Child karya Mehmet C. Oz. M.D (Qanita, 2011). Dr. Oz memang salah satu penulis non fiksi favorit saya, jadi mungkin saya akan bias kalau bicara tentang beliau.
Sebagai one-stop-reading, buku ini cukup menarik bagi saya untuk mengetahui secara umum tantangan sebagai orang tua: bahwa setiap anak itu unik dan tugas orang tua untuk membimbing anak menuju kehidupan yang dikehendaki anak itu sendiri. Selain itu, ada juga Mind in the Making: The Seven Essential Life Skills Every Child Needs karya Ellen Galinsky dan NurtureShock: New Thinking About Children karya Ashley Merryman.
Saya rasa kalau setiap remaja, setiap single membaca buku parenting, mereka akan berpikir lebih serius tentang pacaran, tentang memilih pasangan, dan akhirnya tentang pernikahan itu sendiri. Bahwa menikah bukanlah sekadar—kata seseorang di Twitter, pertemuan resmi dua selangkangan, tetapi lebih dari itu; Kehidupan baru yang lebih perlu kita pelajari, jauh sebelum kita memutuskan untuk masuk di dalamnya. Dan untuk itu, kaum jomblo, bacalah buku parenting.
Dyah Rinni
Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas penulis perempuan Women Script & Co