Rabu 09 Nov 2016 20:05 WIB

Berjualan dengan Uang Muka, Apa Hukumnya?

Jajaran Smartphones (Ilustrasi)
Jajaran Smartphones (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yang terhormat pengasuh MES Menjawab, alhamdulillah saya diberikan kemudahan oleh Allah mengembangkan bisnis yang saat ini sedang booming, yaitu bisnis gadget seperti smarphone dan tablet. Bisnis ini  memang sangat dinamis. Setiap waktu selalu keluar model baru. Seringkali juga untuk merk-merk tertentu masyarakat sangat menggemarinya sehingga produk yang akan dijual belum datang  saja banyak konsumen rela antri untuk  membeli dengan tangguh (indent).  

Nah untuk mengikat pembelian ini, biasanya saya tetapkan uang muka sejumlah tertentu, dimana jika nanti pada waktunya barang datang si konsumen jadi membeli produk maka ia dihitung sebagai bagian dari harga keseluruhan produk. Jika ia batal membeli, maka otomatis uang muka tersebut akan hangus alias tidak saya kembalikan kepada pembeli. Bolehkah saya membuat  teknik dagang seperti ini, sebab saya pernah mendengar dari kawan saya katanya jual beli dengan uang muka seperti ini dilarang syariat. Saya sangat menunggu jawaban pengasuh  supaya jual-beli ini mendapatkan berkah dari Allah. Matur nuwun.  

-Heri Sudarsono, Karanganyar, Jawa Tengah.

 

Jawaban

Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Heri yang kami hormati, terima kasih atas pertanyaannya. Hal ini dikarenakan praktek seperti yang anda lakukan adalah hal biasa dalam masyarakat kita dan juga di tempat lain. Sebelum menjawab,  kami  sangat menghargai setiap usaha meningkatkan rezeki yang halalan toyyiban, sebab memang inilah sesungguhnya yang diperintahkan oleh Allah SWT (Al Baqarah: 168; 172). Karenanya kita dilarang melakukan transaksi secara bathil, yaitu melanggar ajaran agama (An Nisa: 29). Semoga kesadaran masyarakat tentang hal ini semakin meningkat sehingga bangsa ini secara keseluruhan juga mendapatkan berkah. Amin

 Permasalahan yang saudara kemukakan ini sebenarnya telah ada referensinya pada masa Rasulullah SAW, jadi bukan permasalahan baru. Praktek down payment (DP) atau panjar/persekot ini dikenal dengan bai’ ‘urbun. Urbun adalah seseorang membeli sesuatu dengan memberi uang muka (persekot) dan dibuat perjanjian, yaitu jika jual belinya jadi, maka tinggal membayar yang sisa. Jika tidak jadi, maka uang muka tadi menjadi milik si penjual. 

Memang bai’ ‘urbun ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, sejak dahulu. Sebagian ulama tidak memperbolehkannya, namun pendapat yang kuat argumentasinya dan diikuti mayoritas ulama (rajih) adalah  memperbolehkannya.   Secara garis besar pendapat ini sebagai berikut:

Pendapat pertama mengatakan bahwa jual beli urbun itu haram. Karena di dalamnya dianggap terdapat ghoror dan jahalah, yaitu ketidakjelasan jual beli bisa terjadi atau pun tidak. Dari sisi ini terlarang. Dalil yang jadi pegangan antara lain adalah hadit dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash bahwa “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual-beli ‘urbun” (HR. Malik, Abu Daud dan Ibnu Majah). Pendapat ini banyak dipegang oleh mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah.

Pendapat  kedua mengatakan bahwa jual beli urbun itu sah dan boleh-boleh saja. Inilah pendapat ‘Umar, Ibnu ‘Umar dan Imam Ahmad. Mereka menganggap bahwa ketidakjelasan yang ada bukanlah kejelasan yang  membuat cacat transaksi. Alasan lain, pembeli jika ia memberi syarat khiyar untuk dirinya (memutuskan jadi atau tidaknya membeli) selama sehari atau dua hari, itu boleh. Maka, jual beli ‘urbun ketika disyaratkan oleh penjual, itu pun boleh.

Jika si pembeli misalnya mengembalikan barang setelah ia coba dahulu (dan ini dengan kesepakatan), bisa jadi harga barang tersebut jatuh, apalagi jika pembeli lain tahu. Maka si pembeli berinisiatif menutupi kekurangan tersebut dengan memberi sejumlah uang. Hal ini dibolehkan. Intinya, dengan uang muka terdapat maslahat bagi si penjual dan pembeli. 

Pendapatan ulama-ulama zaman ini juga kebanyakan memperbolehkan. Misalnya Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta (Arab Saudi) nomor 9388 mengatakan bahwa maka dibolehkan baginya (penjual) untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak mengembalikannya kepada pembeli –menurut pendapat yang rojih- apabila keduanya telah sepakat untuk itu. Adapun hadis yang melarang jual beli 'urbun (sebagaimana dikemukakan ulama yang melarangnya) adalah hadis dho’if. Hadits tersebut di-dho'if-kan oleh Imam Ahmad dan lainnya sehingga tidak bisa dijadikan dalil pendukung. Demikian pula fatwa Dewan Syariah Nasional MUI 13/DSN-MUI/IX/2000 juga memperbolehkan ‘urbun ini, meskipun fatwa ini berkaitan dengan jual beli murabahah.  Wallahu’alam

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement