Diasuh oleh Asrorun Ni'am Sholeh
Sekretaris Komisi Fatwa MUI
Assalamualaikum wr wb.
Apabila ada orang yang ingin melaksanakan puasa selama sebulan tanpa ada halangan haid, kemudian meminum obat penunda haid, bagaimana hukumnya?
Fulanah-Depok
Waalaikumussalam wr wb.
Pada hakikatnya, haid adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan. Haid adalah siklus bulanan yang terjadi secara fisiologis, ditandai dengan keluarnya darah dari rahim akibat luruhnya lapisan dinding rahim bagian dalam yang banyak mengandung pembuluh darah.
Keluarnya darah haid merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita. Haid adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita. Dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 22 disebutkan, “Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.”
Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Ia tidak diwajibkan mengqadla shalat yang ditinggalkan selama masa haid, tetapi ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkan.
Dari Aisyah ra ia berkata “Kami dahulu mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Pada 1979, MUI telah menetapkan fatwa tentang pil antihaid bagi wanita yang hendak menunaikan ibadah haji. Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa penggunaan pil anti haid untuk kesempatan ibadah haji hukumnya mubah. Sementara itu, penggunaan pil antihaid semata-mata dengan maksud agar dapat mencukupi puasa Ramadhan sebulan penuh, hukumnya makruh.
Akan tetapi, bagi wanita yang menggunakan pil antihaid karena adanya kekhawatiran sukar mengqadha puasanya pada hari lain, misalnya karena pekerjaan atau kondisi fisik, hukumnya mubah. Di samping itu, kebolehan menggunakan pil anti haid tersebut dengan syarat bahwa pil tersebut adalah halal dan terbebas dari najis serta diyakini tidak membahayakan, baik fisik maupun psikisnya.
Dengan demikian, kebolehan menggunakan pil antihaid itu tidak bersifat mutlak. Jika mendatangkan bahaya, atau tujuannya semata hanya biar tidak mengqadha, apalagi diduga mencari keutamaan, maka itu sangat tidak dianjurkan.
Hal ini mengingat masa haid itu dijadikan indikasi yang berkaitan dengan ketentuan hukum Islam, antara lain sebagai indikasi bahwa wanita yang bersangkutan telah memasuki usia akil dan balig, sebagai penanda batas masa iddah (masa menunggu seorang wanita yang dicerai suaminya), sebagai tanda tidak sedang dalam keadaan mengandung.
Untuk itu, jika tidak ada alasan mendesak untuk penggunaan pil antihaid, maka sebaiknya ditinggalkan. Banyak amalan baik yang bisa dikerjakan di bulan ramadhan meski dalam kondisi haid. Di samping itu, mencegah terjadinya penyakit yang disebabkan oleh pil anti haid yang mungkin timbul harus didahulukan. Wallahu a’lam bish shawwab.