Rabu 23 Jul 2014 15:14 WIB

Buka Puasa di Restoran Asing

Suasana restoran ice cream Haagen Dazs di Pasific Place, Jakarta.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Suasana restoran ice cream Haagen Dazs di Pasific Place, Jakarta.

Diasuh oleh Asrorun Ni'am Sholeh

Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Assalamualaikum wr wb.

Ustadz, pada har libur di bulan Ramadhan, banyak orang yang mengajak keluarganya berbuka puasa di luar rumah. Jelang Maghrib, restoran dan rumah makan biasanya penuh sesak dipadati orang yang mau berbuka, termasuk restoran asing yang tidak jelas kehalalannya. Bagaimana hukum berbuka puasa di tempat restoran asing seperti ini?

Abi Tajul-Depok

Waalaikumussalam wr wb.

Setiap Muslim wajib mengonsumsi makanan halal. Perintah mengonsumsi makanan yang halal dan sehat ini adalah perintah secara eksplisit dan disampaikan Allah, antara lain melalui Alquran sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Maidah ayat 88 yang artinya, “dan makanlah makanan yang halal lagi thayyib (baik) dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya.”

Halal adalah terminologi agama, yang merujuk pada ketentuan-ketentuan baku dalam ajaran agama. Sementara, thayyib adalah terminologi yang merujuk pada kelayakan konsumsi, terkait dengan aspek manfaat–mudarat, serta standar gizi. Sedemikian urgen kedudukan halal dan haram hingga sebagian ulama menyatakan, “Hukum Islam (fikih) adalah pengetahuan tentang halal dan haram.”

Menurut ajaran Islam, mengonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib. QS al-Baqarah ayat 72 menjelaskan, “Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.”

Demikian juag dalam QS al-Nahl ayat 114 disebutkan, “Maka makanlah yang halal lagi baik

dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.”

 

Ayat-ayat itu  tidak saja menyatakan bahwa mengonsumsi yang halal dan suci hukumnya wajib, tetapi juga menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan perwujudan dari rasa syukur, ketakwaan, dan keimanan kepada Allah. Sebaliknya, mengonsumsi yang tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syetan.

Puasa sebagai salah satu ibadah yang merupakan salah satu pilar penting dalam Islam, harus dilaksanakan dengan mengikuti seluruh ketentuannya, di antaranya adalah makanan yang dikonsumsi untuk berbuka maupun sahur harus dipastikan kehalalannya, baik materi (zat)nya maupun perolehannya.

Dari aspek zatnya harus dipastikan bahwa makanan yang kita konsumsi adalah halal, tidak ada unsur yang haram serta yang meragukan. Dari aspek perolehan, harus berasal dari usaha yang halal, bukan hasil mencuri, menipu, dan aktivitas haram lainnya.

Mengonsumsi yang tidak halal (haram) menyebabkan segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah SWT. Nabi SAW dalam sebuah hadisnya menyatakan, "Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah adalah tayyib (baik), tidak akan menerima kecuali yang tayyib (baik dan halal); dan Allah memerintahkan kepada orang beriman segala apa yang Ia perintahkan kepada para rasul.”

“Ia berfirman, 'Hai rasul-rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan' (QS al-Mukminun [23]: 51), dan berfiman pula, 'Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu...” (QS al-Baqarah [2]: 172) (HR Muslim).

Dalam lanjutan hadis di atas, Nabi menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan dan badannya berlumur debu. Sambil menjulurkan tangan ke langit, ia berdoa, 'Ya Tuhan, Ya Tuhan..." Akan tetapi, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia selalu menyantap yang haram. Oleh karena itu, Nabi memberikan komentar, "Jika demikian halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya?"

Dewasa ini marak industri makanan dan wisata kuliner, yang terkadang tidak jelas bahan baku, bahan penolong, bahan tambahan, serta pengolahannya. Setiap konsumen punya hak untuk memperoleh jaminan bahwa produk yang dikonsumsinya adalah halal. Sementara tidak semua konsumen, seiring dengan rumitnya masalah teknologi pangan yang terus berkembang, dapat mengetahui kehalalan produk makanan.

Jika kita tidak punya kapasitas untuk memeriksa dan mengetahui apakah makanan yang akan kita konsumsi di restoran yang kita pilih itu halal atau tidak, kita bisa melihat apakah restoran tersebut sudah menyatakan kehalalan semua menunya? Ditandai dengan ada atau tidak adanya sertifikat halal yang ada di restoran tersebut. Jika tidak ada, maka berarti belum ada kejelasan tentang halal-haramnya.

Dalam Islam, makanan yang belum jelas halal-haramnya ini disebut syubhat, atau samar-samar. Dan terhadap barang yang syubhat, kita diperintahkan untuk menghindarinya hingga ada kejelasan.

Sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Muslim, "Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara kedua ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sebenarnya ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya..."

Dan dalam riwayat lain, ada lanjutan hadis di atas yang menyatakan bahwa “Barang siapa yang terjerumus kedalam syubhat, ia terjerumus kedalam yang haram.”

Untuk itu, sebaiknya saat kita hendak memilih restoran untuk kepentingan berbuka, harus dipastikan bahwa menu restoran tersebut adalah halal. Dan cara yang yang paling mungkin serta paling muda, adalah dengan bertanya “Sudahkah memperoleh sertifikat halal?”. Wallahu a’lam bish shawwab.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement