REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu’alaikum Wr Wb, salam sejahtera Pak Hari ‘Soul’ Putra. Saya seorang mahasiwa tingkat pertama di salah satu perguruan tinggi swasta di Depok. Oleh orangtua, saya diberi uang saku setiap bulan Rp 500.000.
Selama ini saya belum terbiasa untuk mengelola uang dalam rentang waktu bulanan. Dari SD hingga SMA saya terbiasa hidup dari uang saku harian, dan bila ada kebutuhan saya tinggal minta sama orang tua saya.
Sejak 1 tahun yang lalu, saya meninggalkan rumah orang tua untuk kost yang dibayarkan selama 1 tahun penuh. Bagaimana cara saya mengelola uang Rp 500.000 per bulan sementara kebutuhan dan keinginan menyesuaikan dengan gaya hidup teman-teman kampus saya menjadi pilihan yang harus saya jalani hari ini. Mohon saran dan pendapatnya.
Abdi
Depok, Jawa Barat
Jawaban:
Wassalamu’alaikum Wr Wb Mas Abdi
Salam kenal dan salam sejahtera. Menarik apa yang Anda alami hari ini dan saya kira menjadi permasalahan setiap mahasiswa yang baru ‘belajar hidup’ dan mengatur keuangannya agar bisa bertahan menunggu awal bulan. Ibarat seorang karyawan, Anda hari ini memiliki penghasilan tetap sebanyak Rp 500 ribu yang Anda terima dari orang tua Anda, tanpa Anda harus bekerja. Tetapi ingat, uang tersebut adalah amanah yang harus Anda pegang erat-erat.
Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, perlu Anda pahami beda antara kebutuhan dan keinginan. Di dunia perencanaan keuangan (financial planning), harus di pisahkan secara jelas, antara kebutuhan (need) dan keinginan (want).
Dari segi bahasa, “butuh adalah kata sifat yang menunjukkan bahwa Anda memang harus melakukan satu hal (apa pun itu) karena memang di-“butuh”-kan. Misalnya, makan, transportasi, membayar ini atau membayar itu yang memang menjadi kebutuhan. Sebaliknya, “ingin” menunjukkan bahwa tindakan yang Anda lakukan lebih karena Anda memang meng-“ingin”-kannya. Artinya ini tergantung situasi dan kondisi diri Anda sendiri.
Ketika Anda menyesuaikan keinginan Anda bisa setara atau paling tidak sama dengan teman-teman kampus Anda yang punya uang jajan Rp 1-2 juta, konsekuensinya Anda harus mencari uang tambahan sebesar Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta agar Anda dianggap kelompok mereka.
Tetapi kembali jika Anda bisa menolak untuk lebih mementingkan kebutuhan, maka masalah Anda menjadi selesai. Ingat tugas mahasiswa adalah belajar untuk berkarya, baik di dalam kampus atau setelah di luar kampus baik sebagai intrapreneur atau entrepreneur. Mari kita hitung secara sederhana, jika Anda makan 1 x @ Rp 5.000, jika makannya tiga kali maka butuh uang Rp 15 ribu per hari. Jika 30 hari maka Rp 450 ribu, dari uang jajan hanya Rp 500 ribu, tersisa Rp 50 ribu.
Itu baru dari biaya makan, belum termasuk biaya buku, fotocopy, listrik (jika Anda menggunakan listrik sendiri), pulsa, kebutuhan rumah tangga (sabun, odol, parfum, deterjen dll). Praktis perlu strategi untuk menyelesaikannya.
Ada dua pendekatan, yang bisa saya sarankan untuk Anda:
Pertama dengan menghitung kembali pengeluaran Anda. Sekarang coba Anda tengok ke depan, Anda paling tidak akan kuliah hingga 3 hingga 4 tahun mendatang, otomatis kebutuhan makan, bisa disiasati dengan membeli kompor gas dan tabungnya. Itu bisa bertahan 3-5 bulan jika Anda masak sendiri.
Anggap saja, ini investasi alat-alat rumah tangga Anda ketika nanti mau menikah.
Jika hitungan rata-rata Anda makan 1 x @ Rp 3.000, jika makannya 3x makan butuh uang Rp 9.000 per hari. Jika 30 hari maka Rp 270 ribu, dari uang jajan hanya Rp 500 ribu, tersisa Rp 230 ribu.
Kedua, dengan menambah pendapatan. Sekarang coba Anda bayangkan, jika di akhir kuliah Anda harus membuat laporan kerja praktik dan skripsi, maka mau atau tidak, suka atau tidak, Anda harus menulis. Kenapa tidak dari awal Anda kuliah, Anda latihan menulis 1 hari 1 lembar. Jika ini terus Anda lakukan maka di tahun ke-3 atau ke-4 Anda sudah menjadi master di bidang tulis menulis.
Dengan bekal tulisan tersebut, Anda bisa ‘menjual ide’ Anda kepada berbagai media massa untuk mendapatkan honor/fee dari artikel, opini, feature, puisi, cerpen (cerita pendek) atau cerbung (cerita bersambung) yang Anda tulis.
Saya teringat honor artikel saya waktu pertama kali dimuat di SKH (Surat Kabar Harian) KR (Kedaulatan Rakyat) adalah Rp 25 ribu.
Untuk tahun saya kuliah di Yogya, uang Rp 25 ribu tersebut termasuk besar. Belum lagi jika Anda tahu sistem seperti saya, ada dana-dana promosi yang dikeluarkan oleh pihak fakultas atau universitas, ketika logo atau nama universitasnya disebutkan di media massa, maka Anda bisa minta melalui pihak rektorat (biasanya diwakili oleh Pembantu Rektor bidang kemahasiswaan dan didisposisikan ke bidang keuangan untuk pencairan dananya).
Jika saya tidak salah ingat, waktu itu saya dapat Rp 15 ribu. Artinya dari 2 sumber tersebut saya dapat Rp 40 ribu dengan hanya ‘menjual ide’ tulisan intelektualitas saya.
Atau bisa juga Anda mencari beasiswa baik dari pihak universitas, pemerintah, BUMN/BUMD, perusahaan swasta dll. Atau proyek-proyek riset dari Dikti (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi) dan lembaga-lembaga swasta.
Terakhir, saran saya dari uang jajan dan pendapatan tersebut, Anda bisa menyisihkannya di awal/di depan dengan menaruh di bank, yang dalam kelipatan tertentu misal Rp 2,5-3 juta Anda investasikan dalam bentuk membeli emas. Bisa emas batangan (buka www.logammulia.com dari PT Antam/Aneka Tambang,Tbk) atau bisa juga beli koin emas/dinar (buka www.geraidinar.com) agar uang yang Anda tabung tidak habis dimakan inflasi dan bisa berkembang, serta bisa Anda gunakan untuk persiapan bekerja/berusaha atau menikah nantinya tanpa tergantung oleh orang tua Anda lagi. Selamat mengelola uang jajan produktif Anda.
Kolom ini diasuh oleh WealthFlow 19 Technology Inc., Motivation, Financial & Business Advisory (Lembaga Motivasi dan Perencana Keuangan Independen berbasis Sosial-Spiritual Komunitas)
SMS 0815 1999 4916