Pertanyaan :
Assalamu'alaikum wr. wb.
Saya wanita berusia 33 tahun, saya mengetahui bahwa melayani suami itu hukumnya wajib, pernah suatu kali saya tidak merespons ketika suami saya mengajak saya untuk berhubungan intim karena pada saat itu saya memang sedang sakit dan suami saya marah besar kepada saya. Sampai sampai dia mengancam ingin menceraikan saya. Lalu saya minta maaf, dan dengan terpaksa dalam keadaan sakit saya melayani kemauannya.
Sejak saat itu hingga saat ini saya tidak berani beralasan apapun untuk tidak melayani suami saya, walau dalam keadaan sakit, lelah atau apapun harus tetap saya layani. Bahkan saat haid pun saya dipaksa melayaninya dengan cara yang lain (seperti onani tetapi dilakukan dengan tangan saya). Karena menurut beberapa hadist yang di yakini suami saya, ketika saya haid pun tetap dapat melayani suami saya dengan cara yang lain.
Yang ingin saya tanyakan :
Apakah benar bahwa pada saat haidpun saya punya kewajiban harus melayani suami (seperti melakukan onani terhadap suami dengan tangan saya misalnya atau anggota tubuh saya yang lain)?
Jika saya sakit (saya harus berpura-pura semangat untuk melayani suami saya), karena jika tidak begitu saya takut dia akan marah pada saya? apakah yang saya lakukan ini boleh?
Apakah memang tidak ada hadist atau ayat apapun hingga seorang istri tidak bisa menolak berhubungan intim dengan suaminya saat istri sakit atau haid misalnya?
Kadang saya merasa tidak sanggup ustadz, melayani permintaannya (saat sakit atau haid), tapi karena tidak ada hadist yang bisa meringankan saya untuk menolak ajakan suami, saya melakukannya dengan terpaksa. Kadang sesudahnya pun saya menangis karena saya merasa tidak ada lagi kasih sayang diantara saya dan suami, suami tidak pernah mengerti keadaan saya.
Saya mengizinkan suami untuk berpoligami (karena saya merasa tidak sanggup memenuhi hasratnya), asalkan suami bertanggungjawab terhadap anak-anak dan saya tidak mau satu rumah dengan istri kedua suami saya (jika ini benar-benar terjadi). Sayapun tidak berani bercerai karena alasan anak anak masih terlalu kecil, sehingga menurut saya satu satunya jalan adalah membiarkan suami berpoligami. Hingga saat ini suami belum memutuskan untuk berpoligami, jika saya menolak melayaninya hanya perceraianlah yang dia inginkan.
Terima kasih,
Hamba Allah
Jawaban :
Waalaikum salam Wr Wb
Semoga Allah SWT merahmati kita semua, Semoga Allah memberikan jalan terbaik buat ibu yang shalihah ini. Amin
1.Hukum dasarnya rumah tangga harus dibangun atas dasar taat pada hukum dan muasyaraoh bilma'ruf di antara mereka. Dua-duanya selalu meperlakukan pasangannya dengan penuh kemuliaan. "Dan perlakukanlah istri dengan cara ma'ruf" (QS an-Nisa:19), "Bagi wanita berhak mendapatkan perlakuan ma'ruf, sebagaimana ia wajib memperlakukan suaminya dengan ma'ruf " (QS al-Baqaroh:228).
2.Dari kaca mata hukum istri harus tetap melayani suami dan patuh pada suami termasuk dalam hal melayani hubungan badan. Tetapi pada saat yang sama suami harus memperlakukan istri dengan ma'ruf (baik, penuh penghargaan). Memang batasan ma'ruf itu lebar sekali misalnya apakah meminta berhubungan dengan istri yang sedang sakit disebut ma'ruf atau tidak? Ini akhirnya menyulitkan. Tetapi secara umum tindakan seperti itu bisa dianggap kurang ma'ruf. Apalagi disertai ancaman menceraikan.
3.Benar di sana ada hadits yang menjelaskan tentang ancaman bagi wanita yang menolak berhubungan dengan suaminya bahwa ia akan dilaknati malaikat (HR Ahmad, Bukhori dan Muslim) . Tetapi bagi yang mendasarkan tindakannya pada hadits ini harus ingat bahwa suami tunduk pada peraturan tindakan ma'ruf pada pasangannya. Hadits tersebut adalah dorongan kepada wanita agar tidak mengecewakan pasangannya dan perintah ma'ruf adalah dorongan pada laki-laki agar tidak berbuat semena-mena terhadap pasangannya.
4.Di sana ada perintah dari Rasul atau lebih tepatnya anjuran agar seorang laki-laki dalam berhubungan memperhatikan etika dan tatacara yang menggairahkan wanita. Rasulullah bersabda : yang artinya : "Jika seseorang di antara kalian menggauli istrinya maka hendaknya ia bershodaqah kepadanya. Jika ia telah menunaikan kebutuhannya maka hendaklah jangan terburu-buru sampai istrinya menunaikan kebutuhannya (HR Abu Ya'la, lihat majmauzzawaid 4/295). Ini semua dimaksudkan agar hubungan pasangan itu ma'ruf .
5.Khusus ancaman menceraikan adalah tidakan yang tidak pantas.
6.Memang banyak di antara kaum muslimin ketika memandang masalah hanya berorientasi pada sisi hukum tanpa memperhatikan maqosid syariah (tujuan hukum). Filosofi hukum, etika dan ajaran secara keseluruhan sehingga terkadang tampak taat tetapi akhirnya menyakiti. Pandangan seperti itu tidaklah bijak dan tidak mencerminkan Islam secara keseluruhan.
7.Mengenai onani, waktu haid sekalipun, secara hukum boleh dan hal itu jika diminta sama suami maka dapat diperkenankan. Yang tidak boleh kalau onani dengan tangan sendiri. Termasuk menggauli istri haid diluar hubungan intim. Hukumnya boleh-boleh saja.
8.Kepada saudari yang memiliki suami yang kelihatanya berhasrat tinggi, maka bersyukurlah kepada Allah dan mencobalah untuk menyesuaikan dengan kondisi suami dengan banyak olah raga dan makan yang cukup.
9.Jika dikira solusinya adalah poligami maka baik-baik saja dengan syarat suami mampu dari sudut nafkah dan mampu bersikap adil.
Rubrik konsultasi ini diasuh oleh Ustadz Muchsinin Fauzi, LC. Kirimkan pertanyaan Anda ke:[email protected]