Ribuan santri dari ratusan taman pendidikan alquran (TPA) di Kota Yogyakarta berkerumun memadati Masjid Diponegoro, Kompleks Balaikota Yogyakarta, September 2012 silam. Lengkap dengan pakaian Muslim dan mushaf Alquran, anak-anak ini bersiap menyambut peluncuran Gerakan Masyarakat Maghrib (GEMMAR) Mengaji.
Tak salah jika GEMMAR Mengaji disambut antusias di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Masyarakat Yogyakarta secara kultural masih menjalankan tradisi mengaji kala Maghrib menyapa.
Kepala Kanwil Kemenag DIY Masykul Haji mengatakan bahwa GEMMAR Mengaji di Kota Gudeg memang difokuskan untuk anak-anak. “Diterapkan dulu untuk TPA dan TPQ karena lebih efektif untuk usia mereka,” ujar Masykul kepada Republika. Untuk usia dewasa, masyarakat didekatkan dengan Alquran lewat majelis taklim. Sudah sejak lama, kata Masykul, masyarakat Muslim Yogyakarta memiliki majelis taklim yang berjalan rutin.
Sebelum GEMMAR Mengaji diluncurkan pun, kesadaran Pemerintah Daerah DIY agar masyarakat dekat dengan Alquran sudah terwujud. “Kita ada SK Gubernur tentang Pengamalan dan Pemahaman Alquran,” katanya.
Selain itu, program mengaji juga diterapkan kepada pejabat pemerintah, baik dari tingkat kota/kabupaten hingga provinsi. Masykul menerangka bahwa setiap bulan pada Rabu pekan pertama, pegawai di berbagai SKPD menyelenggarakan pengajian. “Tidak hanya mengaji Alquran, tetapi juga bahasan tematik yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari,” ujar Masykul.
Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Ibn Sa’dan, mengungkapkan program GEMMAR Mengaji di Serambi Makkah berjalan baik. Program ini berjalan rutin, di antaranya di Aceh Besar, Aceh Timur, dan Banda Aceh.
“Program ini didukung penuh oleh Pemda dengan dukungan APBD,” katanya. Biaya tersebut digunakan pengawas dalam menjalankan program hingga tingkat desa.
Sa’dan menuturkan aktivitas mengisi waktu Maghrib dengan mengaji sudah menjadi tradisi lama di Aceh. Sayang, ia mengungkapkan, sempat terhenti sejak terjadinya konflik di Bumi Rencong. “Saat itu, kondisi mencekam. Jangankah untuk mengaji di surau, keluar rumah saja tidak berani,” ujarnya.
Kementerian Agama yang mulai mencanangkan kembali kegiatan ini disambut baik oleh masyarakat Aceh. Selain program Maghrib mengaji, pihaknya juga menyelenggarakan program Subuh Keliling (Suling). Sa’dan mengatakan program ini cukup efektif mengajak umat Islam untuk meramaikan masjid dan lebih dekat pada Alquran.
Safari subuh dilakukan oleh masyarakat dari berbagai ormas Islam ke berbagai masjid yang ada di seluruh Aceh. Selain mengaji Alquran, Suling juga diisi dengan ceramah. “Kajiannya macam-mcam mulai dari tauhid, fikih, dan tasawuf,” ujarnya.
Suling juga mengajarkan masyarakat untuk menjaga tali silaturahim, baik penduduk satu desa maupun antardesa. “Kami juga memberikan sarapan gratis usai shalat Subuh bagi jamaah Subuh Keliling,” katanya. Kajian pun berkembang di meunasah atau surau di desa-desa. Semarak Suling pun melengkapi GEMMAR Mengaji untuk mendekatkan Alquran ke masyarakat.
TPA dan TPQ juga dikembangkan bagi anak-anak untuk mendekatkan pada Alquran. Bahkan, saat ini minat belajar di madrasah lebih tinggi dari sekolah negeri. Sekolah agama dengan sistem asrama modern yang memadu kurikulum agama dan umum lebih lengkap. “Justru, kami kewalahan untuk menyediakan fasilitas madrasah karena permintaan sangat besar,” ujar Sa’dan.
Ia mengaku GEMMAR Mengaji juga terbantu dengan diberlakukannya Qanun Syariah di Aceh. Kondisi yang kondusif lebih membuat masyarakat nyaman dengan program-program keislaman.
rep:ratna ajeng tejo mukti ed: hafidz muftisany