Jumat 13 Jun 2014 12:00 WIB
fatwa

Pilih Hisab atau Rukyat?

Red:

Kurang dari sebulan, Ramadhan kembali menyapa. Menjelang puasa, ada hal-hal yang rutin menjadi perbincangan orang-orang Indonesia. Di antaranya naiknya harga sembako dan kapan ditetapkannya awal Ramadhan dan Syawal?

Mungkin hanya di Indonesia, sering terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan dan Syawal. Namun, umat Islam di Indonesia menyikapinya dengan bijak. Tak menjadi persoalan serius berbedanya awal penetapan Ramadhan dan Syawal. Masing-masing bisa saling menghormati pilihan yang lain. Namun, tentu saja, masih terselip harapan jika ke depan, semua bisa kompak dan patuh pada satu keputusan nasional.

Perbedaan penetapan awal bulan Qamariyah di Indonesia terletak pada metodenya. Dalil-dalil hukum dari Alquran dan hadis yang dipakai pun beririsan. Namun, perbedaan menafsirkan dalam metode menjadi khilafiyah.

Salah satunya hadis dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Berpuasalah (Ramadhan) jika kamu melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah  kamu jika melihat tanggal (satu Syawal), Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban 30 hari. (HR Bukhari Muslim).

Hadis ini menjadi dasar dua metode sekaligus, rukyat atau melihat bulan dan hisab dengan melihat penanggalan. Penetapan awal bulan Qamariyah di Indonesia boleh dibilang didominasi tiga elemen besar. Yakni, dua ormas besar Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan pemerintah yang diwakili Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan Qamariyah khususnya bulan Ramadhan dan Syawal menggunakan kriteria ijtima' qablal ghurur dan posisi bulan di atas ufuk secara satu kesatuan. Artinya, apabila saat matahari terbenam setelah terjadi ijtima', bulan sudah wujud di atas ufuk, dengan tidak memperhatikan posisi bulan tersebut bisa dilihat atau tidak (imkanur rukyat) maka malam harinya dimulai bulan baru.

Dan sebaliknya apabila pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima', bulan belum wujud di atas ufuk, maka malam harinya belum dimulai bulan baru. Penjelasannya, jika menurut hisab wujud bulan sudah di atas ufuk dengan ketinggian tertentu, kemudian ada orang yang melihat bulan (rukyat) maka rukyatnya bisa diterima. Namun, jika menurut hisab wujud bulan belum wujud atau positif di bawah ufuk, lalu ada orang yang melihatnya (rukyat) maka rukyat itu tidak dapat diterima.

Bahtsul Masail NU berpendapat dasar hisab falak dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah SAW dan diperselisihkan di kalangan ulama. Ru'yatul hilal menjadi metode yang dipraktikkan Rasulullah dan khulafaur rasyidin.

NU juga memandang penetapan hukum dari hakim atau pemerintah untuk penetapan Ramadhan dengan metode hisab tanpa dasar ru'yatul hilal tidak dapat diterima. Hukum melakukan ru'yatul hilal dalam madzhab Syafi'i, Hanafi, dan Maliki adalah fardhu kifayah. Sementara Madzhab Hanbali berpendapat sunah. Untuk itu, proses ru'yatul hilal yang dilakukan pemerintah sudah memenuhi kriteria fardhu kifayah.

NU juga memakai pendapat dari kalangan al-Malikiyah di mana jika imam atau penguasa mengetahui adanya hilal berdasarkan hisab maka tidak wajib diikuti karena bertentangan dengan ijma' ulama salaf. Namun, NU tidak menerima rukyat dengan daerah waktu (mathla') yang berbeda dengan Indonesia.

MUI dalam hal ini lebih cenderung agar setiap kelompok mengikuti keputusan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama. Metode yang dipakai sekaligus antara hisab dan rukyat. Keputusan yang diambil pemerintah berlaku secara nasional.

MUI juga menekankan pentingnya umat Islam di Indonesia untuk menaati ketetapan pemerintah tentang penetapan awal bulan Qamariyah. MUI dalam hal ini menjadikan Pemerintah RI sebagai ulil amri.

Allah SWT berfirman dalam surah an-Nisa ayat 59, "Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri di antara kamu."

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Wajib bagi kalian untuk taat kepada pemimpin meskipun yang memimpin kalian adalah sahaya dari Habsyi." (HR Bukhari). Dalam sebuah kaidah fikih juga dipaparkan, "Keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan silang pendapat."

Namun, meski begitu, MUI memfatwakan pemerintah wajib untuk berkonsultasi dengan MUI dan Ormas-ormas Islam sebelum memutuskan awal bulan Ramadhan. Dalam rukyat yang dilakukan pun, pemerintah bisa menerima hasil rukyat dari luar wilayah Indonesia yang memiliki mathla' sama dengan Indonesia. rep:hafidz muftisany

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗقَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْ ۗقَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِفَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلٰى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا ۗوَاعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ ࣖ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

(QS. Al-Baqarah ayat 260)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement