Beberapa stasiun televisi swasta, Rabu, 6 Juni 2014, menayangkan demonstrasi sekitar 400 perempuan yang tergabung dalam Komunitas Pekerja Lokalisasi di Dolly, Jarak, Surabaya. Terik matahari tidak menghalangi mereka untuk duduk bersama di tengah jalan. Sebagian besar perempuan itu adalah pelacur, sisanya mucikari. Ada beberapa laki-laki yang membantu demonstrasi mereka yang menuntut satu hal: Lokalisasi Dolly, Jarak, jangan ditutup!
Jika melihat penampilan para perempuan pelacur dan mucikari dalam demonstrasi tersebut, ada yang menarik perhatian saya, yaitu, mereka menutupi mata mereka dengan kaca mata hitam, masker mulut, dan topi, kerudung atau tudung baju agar wajah mereka tidak dapat dikenali.
Jika ditanyakan kepada mereka mengapa wajah mereka tidak ingin dikenali? Jawabannya bisa dipastikan hanya satu, malu. Malu jika wajah mereka sebagai pelacur terlihat di televisi dan ditonton anak-anak, keluarga, dan tetangga mereka di rumah atau kampung halaman.
Mereka juga tidak ingin anak-anak dan atau keluarganya menanggung rasa malu tersebut. Malu dalam kasus mereka istilah lainnya adalah aib. Jika ditanyakan lagi kepada mereka, mengapa masih punya malu, tapi tetap melakukan demo di siang yang ditonton banyak orang dan jutaan permirsa se-Tanah Air? Jawabannya juga bisa dipastikan hanya satu, takut.
Takut akan kehlihangan penghasilan, takut masa depan yang suram. Jadi, para pelacur ini sebenarnya para penakut. Mereka berdemonstrasi bukan karena dasarnya mereka pemberani, tetapi lebih karena diperintah dan diorganisasi pihak-pihak yang menguasai diri mereka.
Mereka takut jika tidak menuruti perintah para penguasa diri mereka ini mereka akan diintimidasi dan dipukuli. Maka, menurut saya, rasa malu dan rasa takut para pelacur inilah celah yang harus digunakan Wali Kota Surabaya Risma dan aparatnya serta pihak-pihak lain yang mendukung penutupan lokalisasi Dolly.
Perbesarlah rasa malu para pelacur ini dan hilangkanlah ketakutan mereka. Maka, mereka akan berhenti menjadi pelacur. Untuk menghilangkan rasa takut, bisa dengan memberikan modal kerja dan lapangan kerja, memutus ketergantungan para pelacur dengan mucikarinya dan bekingnya, mengeluarkan mereka dari tempat lokalisasi dengan aman dan damai, serta cara lainnya. Tapi, untuk memperkuat rasa malu, bagaimana caranya?
Para pelacur yang melakukan demonstrasi itu masih manusia yang memiliki kalbu. kalbu mereka menyisahkan sedikit cahaya. Buktinya, mereka masih memiliki rasa malu dengan menutupi mata dan mulut mereka agar tidak dikenali.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Iman itu 60 sekian cabang dan malu adalah salah satu cabang dari iman.”
Kita bisa beda pendapat tentang malu yang dimaksud dengan hadis ini dan malu yang dirasakan dan diekspresikan para pelacur tersebut. Tapi, kita tentu sepakat bahwa para pelacur ini masih memiliki rasa malu. Mari kita bantu mereka untuk memperkuat rasa malu karena dalam bahasa Arab malu disebut al-hayyu. Al-hayyu sendiri, seperti yang tertera dalam kitab Fathul Baari karya Ibnu Rajab, memiliki pengertian sebagai sifat yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba, sehingga membuatnya menjauhi keburukan dan kehinaan, serta mengusungnya untuk melakukan perbuatan yang bagus.
Salah satu cara yang sangat membantu memperkuat rasa malu para pelacur ini adalah jangan lagi menyebut mereka pekerja seks komersial (PSK), sebut mereka pelacur. Menyebut mereka sebagai pekerja, justru melanggengkan perbuatan mereka, mengikis rasa malu, dan tidak lagi terhina karena mereka menganggap perbuatan melacur sebagai profesi yang sama saja dengan yang lainnya yang perlu dilindungi hak-haknya.
Entah siapa yang memunculkan istilah PSK ini? Di peraturan yang ada di Ibu Kota saja, tidak digunakan istilah PSK, yang ada adalah penjaja seks komersial, penjaja bukan pekerja.
Pengertian penjaja seks komersial adalah orang yang menjual seks untuk mendapatkan keuntungan. Pengertian ini tercantum dalam Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Itu pun, di perda ini, penjaja seks komersial dilarang.
Di daerah lain, Perdanya malah tetap memakai kata pelacur, seperti di Kabupaten Bantul dan Kota Sambas.
Memang penggunaan istilah PSK terkesan lebih humanis, tapi sekali lagi, memiliki efek psikologis yang luar biasa bagi para pelakunya. Terbukti, para pelacur di Dolly, Jarak, telah melakukan pengorganisasian dalam bentuk seperti serikat pekerja.
Akhir kalam, mari kita dorong semua pihak untuk tidak lagi menggunakan istilah pekerja seks komersial, gunakan kata pelacur atau yang serupa dengannya. Kelihatannya memang sepele, tapi faktanya, dari istilah inilah kini para pelacur Dolly, Jarak, memberontak. Mereka berani tampil menutut dan melawan kebijakan dari seorang wali kota perempuan, seorang ibu yang jika mereka pahami lebih dalam, ibu ini lebih peduli terhadap nasib mereka dari para mucikari yang melacurkan mereka, bukan memperkerjakan mereka.
Oleh Rakhmad Zailani Kiki
Kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre