Sebaliknya produk yang tidak berkualitas seperti halnya menjual buah-buahan yang belum masak dilarang. Dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhu. bahwasannya Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam melarang menjual buah-buahan hingga nampak masak. Beliau melarang penjual dan pembeli. Menurut Ibnu Hajar, hadits Nafi’ dari Ibnu Umar dengan lafazh, (beliau melarang jual-beli buah hingga tampak masak, beliau melarang penjual dan pembeli maksudnya larangan bagi penjual adalah untuk mencegahnya agar tidak memakan harta saudaranya dengan cara yang batil.
Sedangkan larangan bagi pembeli bertujuan mencegah agar tidak menyia-nyiakan hartanya dan tidak membantu pembeli mengerjakan perbuatan yang batil. Disamping itu, larangan ini juga dapat menghindarkan perselisihan dan pertengkaran. Konsekuensi dari larangan itu adalah diperbolehkannya menjual buah setelah masak secara mutlak, baik tidak langsung dipetik maupun langsung dipetik, sebab hukum sesuatu setelah batasan sesuatu larangan berbeda dengan hukum sebelum adanya batasan. Sementara dalam hal ini larangan tersebut dibatasi hingga buah masak. Maksudnya, pada saat itu buah telah terbebas dari hama sampai pembeli merasa yakin akan dapat memetiknya. Berbeda dengan sebelum buah itu masak, karena hal itu mendekati suatu penipuan.
Imam Muslim meriwatkan melalui jalur Ayyub dari Nafi’ seraya ditambahkan, (Hingga ada jaminan terhindar dari hama). Sementara dalam riwayat Yahya bin Sa’id dari Nafi’ disebutkan dengan lafazh (Hilang darinya penyakit dengan sebab tampak membaik [masak], mana yang merah dan mana yang kuning). Penafsiran ini berasal dari perkataan Ibnu Umar, seperti dijelaskan oleh Imam Muslim dalam riwayatnya melalui jalur Syu’bah dari Abdullah bin Dinar, Ibnu Umar, (Dikatakan kepada Ibnu Umar, "Apakah maksud tampak masak?" Dia menjawab, "Hilang penyakitnya.")
Pandangan yang membedakan antara hukum sebelum buah masak dan sesudahnya merupakan pendapat mayoritas ulama. Lalu diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa jual-beli buah yang masih berada di atas pohon menjadi sah apabila langsung dipetik. Namun, jika tidak diisyaratkan langsung dipanen, maka jual-beli tersebut dianggap tidak sah. Imam An-Nawawi menukil dalam kitab Syarh Muslim dari Abu Hanifah bahwa dia mewajibkan buah langsung dipetik, tetapi pernyataan An-Nawawi dibantah bahwa pendapat yang ditegaskan oleh para sahabat Abu Hanifah adalah mengesahkan jual-beli buah yang masih berada di atas pohon secara mutlak, baik sebelum maupun sesuadah masak. Namun, jual-beli itu menjadi batal apabila disyaratkan tidak langsung dipetik, baik sebelum buah masak maupun sesudahnya. Para ulama dalam mahzhabnya lebih mengetahui pendapat imam mereka dibandingkan ulama selain mereka.
Menurut Ibnu Hajar tentang bolehnya menjual buah yang masak sebagiannya, atau masak pada sebagian pohon jika maksud yang diinginkan telah tercapai, yaitu terhindar dari penyakit. Kalau bukan karena maksud ini, maka penamaan "Buah-buah itu telah masak" tidak dapat diterima apabila yang masak hanya sebagiannya, sebab hal ini menyalahi makna sebenarnya dari kalimat tersebut. Disamping itu, apabila kita mengatakan bahwa buah-buahan dapat dijual jika semuanya masak, maka hal ini akan berakibat rusaknya sebagian atau kebanyakan buah, sebab Allah telah menganugerahkan bahwa buah-buah - an tidak masak secara serentak agar waktu panen dapat berlangsung lama.
Prof. Dr. M. Suyanto
Ketua STMIK AMIKOM Yogyakarta
www.amikom.ac.id