Dalam Alquran, kewajiban mengeluarkan zakat disandingkan dengan kewajiban mendirikan shalat. Seharusnya, kesadaran umat Islam dalam menunaikan zakat beriringan dengan kewajibannya menegakkan shalat. Kesadaran inilah yang kurang terlihat di tubuh umat Islam saat ini.
Seperti dipaparkan Kepala Divisi Pendayagunaan Laznas BSM, Abdi Irawan, zakat dan shalat bisa dijadikan barometer untuk mengukur pemahaman keislaman suatu kaum. "Jika kesadaran zakatnya rendah, berarti pemahamannya akan Islam juga rendah," papar Abdi kepada Republika, Rabu (25/6).
Untuk itulah, lembaga-lembaga zakat yang saat ini tumbuh berjamur di tengah-tengah masyarakat harus bisa memberikan pencerdasan akan urgensi zakat, di samping menghimpun dan mengelola dana zakat. "Ini tantangan bagi lembaga zakat harus bisa memberikan pemahaman keislaman. Lembaga zakat wajib punya program dakwah. Jangan nanti disalahkan, umat Islam yang menganggap zakat itu hanya zakat fitrah," paparnya.
Hal yang sama juga ditekankan General Manager (GM) Baitul Maal Muamalat (BMM), Iwan Agustiawan Fuad. Untuk memberikan pencerdasan kepada umat Islam akan kewajiban menunaikan zakat, pihaknya menerjunkan tak kurang dari 100 orang dai yang ditempatkan di berbagai kantor cabang. Dai yang diistilahkan Shariah Fundraising Executive ini bertugas memberikan pemahaman yang benar kepada umat Islam akan pentingnya zakat. "Fungsi mereka hanya memberikan ceramah tentang pentingnya zakat," ujarnya.
Di samping sosialisasi kepada umat Islam akan pentingnya zakat, para amil yang mengelola zakat itu sendiri juga tak luput harus mendapat perhatian. Dalam mengelola dana zakat, para amil juga harus mendapatkan pembekalan yang cukup agar tidak keliru mengelola dana zakat.
"Permasalahannya bukan pada pengaturan lembaganya, tapi pengelolaannya. MK kan sudah mengeluarkan keputusan yang akhirnya merevisi UU Tahun 2011 ini yang menyatakan BAZ dan LAZ diperkenankan untuk menghimpun dan menyalurkan dana zakat," paparnya.
Ia mengibaratkan, seperti seorang dokter yang akan menangani pasiennya. Si dokter mempunyai risiko akan tertular dan terserang penyakit yang akan diderita pasiennya jika ia tidak hati-hati dalam menangani pasien. Sama halnya dengan amil zakat. Dana zakat yang fungsinya menyucikan harta para muzaki, juga bisa menjangkiti para amil. "Jadi, amil ini juga perlu sertifikasi. Untuk merapikan amil-amil ini, kita masih belum," ujarnya.
Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Prof Didin Hafiduddin mengatakan, banyak studi dan penelitian yang memprediksi potensi zakat yang dibisa dihasilkan di Tanah Air. Para pakar memperkirakan, potensi dana yang bisa dihasilkan melalui zakat berkisar antara Rp 100 triliun hingga 200 triliun.
Didin mengatakan, potensi tersebut di atas Rp 100 triliun per tahunnya. Namun, ia menyayangkan aktualisasi dari potensi zakat yang sangat besar tersebut masih sangat sedikit.
Dalam kurun waktu belakangan ini, kesadaran masyarakat akan kewajiban mengeluarkan zakat sudah mulai meningkat. Namun, Didin menyayangkan, penyaluran zakat masih belum bisa terkelola dengan maksimal melalui lembaga-lembaga zakat yang ada. "Ada yang disalurkan melalui lembaga, tapi ada juga yang langsung. Nah, zakat yang disalurkan melalui perseorangan ini, kita belum punya catatan," paparnya.
Melalui grafik muzaki yang didata oleh BAZNAS, setiap tahunnya terlihat banyak peningkatan. Misalnya saja pada tahun ini, zakat yang berhasil dihimpun sekitar Rp 3 triliun. Angka ini naik 15 persen dari tahun lalu yang hanya berada di angka Rp 2,3 triliun.
"Kalau semuanya bisa tercatat (zakat yang dikelola perseorangan), malah bisa lebih dari itu," katanya menambahkan.
Menurut Didin, apresiasi pemerintah dalam dunia zakat sudah cukup. Ia mencontohkan dengan adanya Inpres Nomor 3 Tahun 2014 tentang optimalisasi penghimpunan zakat di lingkungan pemerintah yang baru dikeluarkan April lalu. Inpres tersebut merupakan suatu langkah positif dari pemerintah dalam hal mendukung eksistensi pengelolaan zakat. "Kalau ini terlaksana dengan baik, itu luar biasa. Karena, penghasilan pegawai Rp 3.450.000 saja sudah termasuk wajib zakat," ujarnya menerangkan.
Memang, untuk mewujudkan itu, perlu ada suatu ketegasan dari pemimpin. Didin mencontohkan sistem penghimpunan zakat di lingkungan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sebelumnya, penghimpunan zakat hanya bersifat imbauan. Pihak perusahaan memfasilitasi karyawannya yang ingin mengeluarkan zakat. Saat itu, hanya terhimpun dana Rp 141 juta per bulan. Namun, begitu ada ketegasan petinggi BRI yang menyatakan zakat langsung dipotong dari gaji, dana zakat langsung melonjak menjadi Rp 4,3 miliar per bulan. "Bahkan, saat ini sudah Rp 5,6 miliar setiap bulan," Didin menerangkan.
Menurut Didin, harus ada langkah konkret dan tegas dari para pemimpin dalam pengaplikasian undang-undang soal zakat. Seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 mengenai Pengelolaan Zakat. Menurut Didin, undang-undang ini belum bisa berjalan secara optimal karena tidak ada sanksi yang menindak mereka yang enggan membayar zakat. Di sinilah kekurangan undang-undang ini yang belum mempunyai sanksi tegas.
rep:hannan putra ed: hafidz muftisany