Jumat 27 Jun 2014 13:03 WIB

Dugderan Pemersatu Warga Semarang

Red:

Menjelang Ramadhan, sejumlah jalan protokol di Kota Semarang tampak ramai dikunjungi warga. Seperti, di Jalan Pemuda, Jalan H Agus Salim, Jalan Imam Bonjol, dan seputar Pasar Induk Johar. Warga setempat meramaikan kawasan ini seiring akan tibanya bulan suci Ramadhan. Mereka menyebut tradisi ini dengan istilah Dugderan.

Tradisi yang telah ada beratus-ratus tahun lamanya ini memang terus dipertahankan di ibu kota Jawa Tengah itu. Dugderan berasal dari kata "dug" dan "der".

Kata "dug" diambil dari suara tabuh beduk masjid yang ditabuh berkali-kali sebagai tanda masuknya awal Ramadhan. Sedangkan, kata "der" diambil dari suara dentuman meriam yang disulut bersamaan dengan tabuhan beduk.

Dugderan telah dimulai sekira dua pekan menjelang memasuki awal Ramdhan. Warga menggelar pasar rakyat di beberapa sudut kota. Para pedagang selain berasal dari Semarang sendiri, juga datang dari Kabupaten Jepara, Kudus, Blora, hingga Bojonegoro. Tak ketinggalan, berbagai wahana bermain bagi anak-anak, seperti komidi putar dan odong-odong, juga melengkapi pusat keramaian tersebut.

Puncak acara ketika pada pengujung Sya'ban. Ketika itu akan diadakan arak-arakan yang berujung di alun-alun kota atau lapangan Masjid Agung Jawa Tengah. Pawai tersebut juga menampilkan berbagai tradisi dan kesenian khas Jawa Tengah.

 

Peserta karnaval umumnya menggunakan tema mobil hias yang sama, yakni Warak Ngendhog. Mobil hias ini dipercaya adalah perpaduan tiga unsur pembentuk budaya Semarang, yakni Jawa, Cina, dan Arab.

Arak-arakan mobil bertema Warak Ngendhog ini akan menempuh jalur antara Balai Kota sampai dengan Masjid Agung Jawa Tengah. Warga setempat pun sudah memadati jalur arak-arakan tersebut sejak siang hari.

Mereka ingin melihat lewatnya pawai-pawai mobil hias. Hiasan pada mobil atau manggar yang dibawa peserta karnaval biasanya akan diambil oleh warga sehingga ketika sampai di Masjid Agung Jawa Tengah, hiasan mobil mereka sudah habis.

Setelah sampai di depan Masjid Agung, acara puncak pun digelar. Ulama setempat akan mengumumkan awal berpuasa diiringi tabuhan beduk oleh wali kota Semarang.

Awal Ramadhan disambut antusias warga. Di samping tabuhan beduk oleh sang wali kota, bunyi meriam pun ikut mengiringi. Pemuda-pemuda sengaja merakit meriam dari bambu. Agar bunyinya membahana, meriam rakitan tersebut diberi karbit.

Tak ketinggalan desingan kembang api dan sorak-sorai warga pun mengiringi. Acara ini diikuti ribuan warga Semarang dan sekitarnya hingga akhirnya mereka menggelar shalat Tarawih bersama-sama.

Latar belakang digelarnya tradisi Dugderan ini sebagai upaya pemerintah menyamakan awal puasa. Perbedaan pemahaman yang mengakibatkan berbedanya awal puasa di masing-masing warga mengundang keprihatinan pemerintah.

Pada abad ke-19, Bupati Semarang Tumenggung Purboningrat telah membaca persoalan perbedaan awal Ramadhan ini. Ia pun berinisiatif untuk mengumpulkan warganya di Masjid Agung Semarang yang saat ini berada di lingkungan Pasar Johar.

Ketika itu, sang Bupati berpidato di hadapan rakyatnya. Ia mengimbau warganya untuk berpuasa dan berhari raya secara bersama-sama. Imbauan tersebut disambut positif oleh warga. Kesepakatan untuk berpuasa secara bersama-sama ini ditandai dengan pemukulan beduk oleh sang Bupati.

Secara turun-temurun, tradisi ini terus dipertahankan. Saat ini, wali kota Semarang terus mengambil peran itu. Pidato disampaikan dalam bahasa Jawa Kromo Inggil (bahasa Jawa halus). Pidato berisikan imbauan mempererat silaturahim dan persatuan umat Islam.

Menjelang waktu Maghrib tiba, pidato pun selesai. Selepas itu, wali kota akan memukul beduk yang diiringi suara dentum meriam. Suara "der" dari dentuman meriam akan membahana sebelum azan Maghrib berkumandang.

Itulah satu semangat bersama untuk bersatu menyambut Ramadhan. Dengan adanya acara ini menjadikan luapan kegembiraan menyambut datangnya Ramadhan lebih terapresiasi. Warga setempat pun secara serempak melaksanakan awal puasa dan berhari raya secara bersama-sama.

Kebersamaan berpuasa dan berhari raya adalah salah satu bentuk persatuan umat Islam. Seperti tergambar dalam wujud Warak Ngedhog sendiri, tiga unsur Jawa, Cina, dan Arab dibuat sedemikian rupa menjadi satu kesatuan. Maknanya, apa pun latar belakang warga, mereka harus bisa bersatu dalam satu nama, yakni umat Islam. Makna ini juga kental dengan Bhinneka Tunggal Ika bangsa Indonesia yang harus tetap dijaga. rep:hannan putra ed: hafidz muftisany

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement