Jumat 27 Jun 2014 13:03 WIB
Halalan Thayyiban

Titik Halal Jajanan Takjil Puasa

Red:

Ramadhan sesaat lagi akan tiba. Bulan yang tidak hanya ditunggu-tunggu umat Islam secara umum, tetapi juga pedagang musiman yang menjajakan takjil berbuka puasa.

Konsumen pun diuntungkan dengan beragam takjil yang dijajakan sehingga memberikan banyak pilihan. Namun, di antara banyaknya jajan takjil yang dijual, konsumen tetap harus memperhatikan faktor kehalalannya.

Untuk makanan dalam bentuk kemasan, masyarakat cukup memperhatikan label halal di kemasan. Berbeda dengan makanan tradisional, seperti kue basah, minuman berwarna, dan gorengan yang harus dikritisi kehalalannya.

Founder Halal Corner Aisha Maharani mengatakan makanan pembuka puasa perlu diperhatikan titik kritisnya. "Biasanya untuk minuman titik kritis, ada pada sirup dan gulanya," ujarnya.

Begitu juga dengan kue tradisional yang perlu diperhatikan, yaitu minyak, tepung, dan bahan pengembang yang perlu diketahui berbahan baku nabati atau hewani. Kalau berbahan baku hewani, perlu dicari tahu produknya sudah berlabel halal atau belum.

Aisha mengungkapkan bahwa memang butuh ketelitian pembeli untuk mengetahui makanan yang dimakannya halal atau tidak. Khusus untuk takjil, sebaiknya pembeli telah mengenal pedagang yang menjual makanan tersebut.

"Silaturahim penting tentu dengan santun bertanya mengenai proses pembuatan dan bahan apa saja yang digunakan untuk meyakinkan diri kehalalan makanan tersebut," ujarnya. Memang untuk usaha UMKM ini menjadi tugas pemerintah dan LPPOM untuk membuatkan sertifikasinya.

Lagi pula undang-undang yang mengikat belum ada sehingga sulit untuk mewajibkan pedagang tradisional untuk mendapatkan sertifikasi halal. "Apalagi, pedagang makanan musiman ketika Ramadhan jumlahnya akan semakin banyak dibandingkan hari biasa," kata Aisha.

Halal Corner sendiri rencananya akan membuat program Ramadhan 1.000 ifthar halal yang akan diselenggarakan pada 12-13 Juli di sembilan kota besar di Indonesia. Rencananya program ini akan mengajak umat Islam menyumbangkan makanan ifthar yang harus jelas kehalalannya.

"Kami ingin membiasakan masyarakat, memberikan makanan pembuka selain bersedekah, juga memperhatikan kehalalan makanan yang diberikan," ujarnya memaparkan.

Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengatakan bahwa penjual makanan tradisional untuk berbuka rata-rata berupa kue basah tradisional. Kue-kue ini biasanya menggunakan bahan tepung terigu, air, minyak, dan telur sebagai emulsifier alami yang dicampur menjadi satu. "Oknum pedagang biasanya menggunakan emulsifier kimia untuk mengurangi biaya bahan baku," katanya.

Air dan minyak dalam sebuah kue memang harus menyatu. Untuk menyatukan kedua bahan tersebut, harus menggunakan emulsifier.

Kue basah yang menggunakan telur sebagai emulsifier tidak masalah. Tetapi pedagang yang menggunakan emulsifier buatan, perlu diperhatikan bahan-bahan dasarnya.

Emulsifier sama halnya dengan telur berbahan dasar lemak. Lemak terdapat dalam lemak hewani dan nabati. Titik kritis emulsifier, yakni jika yang digunakan merupakan lemak hewani. Hewan yang digunakan tentu harus hewan yang halal dikonsumsi dan penyembelihan sesuai dengan syariat Islam. Lemak tersebut berasal dari asam lemak.

"Asam lemak harus dipecah atau dihidrolisasi agar dapat digunakan dalam emulsifier," ujar Lukmanul. Enzim yang digunakan tidak boleh dari hewan haram.  rep:ratna ajeng tejomukti ed: hafidz muftisany

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement