Umat Islam di pedalaman mungkin tak seberuntung mereka yang di perkotaan. Mereka yang tinggal di kota, berbagai hal bisa diakses dengan mudah. Ada banyak sekolah agama untuk menuntut ilmu, pengajian dan majelis taklim tersebar di berbagai masjid dan sudut kota. Akses internet juga semakin mudah diakses untuk membaca dan menyimak berbagai kajian. Bahkan, jika ingin bermalas-malasan pun, bisa menyimak berbagai kajian dari televisi maupun radio.
Namun, tidak demikian halnya bagi mereka di pedalaman. Jangankan akses internet dan sarana-prasarana belajar yang memadai. Akses jalan dan transportasi menjadi kendala berat. Lantas, siapakah yang memerhatikan saudara-saudara seiman di sana? Terlebih, pada saat Ramadhan.
Inilah yang digarap Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). DDII kenyang dengan berbagai pengalaman dakwah di pedalaman dan sebagai salah satu ormas yang mempunyai kegiatan khusus untuk dakwah di pedalaman. Berikut kisah dan serba-serbi dakwah di pedalaman yang diterangkan Ketua DDII KH Syuhada Bahri kepada wartawan Republika Hannan Putra.
Mengapa warga pedalaman dan perbatasan dipentingkan dalam dakwah?
Kalau tidak seperti itu, nanti orang dari negara lain menggeser batas wilayah. Di situ juga miskin ilmu, harta, dan iman. Jadi, menurut kami, orang di sana perlu dibina.
Mereka juga menjadi korban pergesekan dengan negara lain. Seperti dengan Malaysia yang hidup mereka itu lumayan. Masyarakat bisa menimbulkan hal yang tidak bagus kalau tidak dibina.
Sementara, bagi masyarakat perkotaan, banyak dai di sana. Sedangkan, di sana sering terjadi kekurangan dai.
Dakwah di pedalaman ini penting. Karena, di perbatasan, pedalaman, dan suku terasing, umumnya mereka ini Muslim. Karena mereka miskin harta, ilmu, dan iman jadi terabaikan. Akhirnya, mereka digarap misionaris agama lain.
Bekal apa yang harus dimiliki dai pedalaman?
Berbagai keterampilan, kita ajarkan dulu pada para dai yang diberangkatkan ke sana. Artinya, selain pengetahuan agama yang diajarkan, dibekali keterampilan lain, dan metode mengajar anak-anak untuk pemberantasan buta aksara huruf Alquran.
Di samping itu, ada keterampilan lain, seperti bekam dan lainnya. Pokoknya macam-macam, sampai untuk menyelenggarakan operasi pun mereka punya. Ada juga yang punya keterampilan di bidang pertanian yang menjadi penyuluh pertanian bagi masyarakat.
Bagaimana sambutan warga asli dengan dai yang datang ke pedalaman?
Sampai sekarang, sambutannya itu baik dan sesuai dengan harapan. Kita dalam mengevaluasi keberhasilan para dai itu sederhana. Kalau dia (dai) itu pulang, kemudian jamaahnya menangis, berarti mereka itu diterima dengan baik di sana.
Jadi, selama ini para dai yang dikirim itu ketika mereka pulang, jamaah mereka menangis. Bahkan, ketika yang dikirim ke Raja Ampat dulu, itu sampai ada orang yang datang ke sini. Mereka datang untuk meminta agar dai itu dikembalikan lagi ke sana.
Ada juga di tempat lain yang dai pulangnya naik pesawat semua. Di sana memang ekonomi masyarakatnyanya lumayan. Semua tiket dan hal-hal lain dibiayai mereka. Tapi, ada juga yang tidak seperti itu. Seperti dai yang dikirim ke pedalaman dan perbatasan, responsnya biasa saja. Kebanyakan masyarakat di sana tidak mau ditinggal para dainya.
Apa kriteria daerah yang dikirim para dai ke pedalaman?
Kriterianya, pertama, kita tanamkan keikhlasan. Kedua, pengetahuan. Tentu saja, bagi masyarakat pedalaman tidak harus ilmu yang tinggi. Paling hanya seputar bagaimana belajar shalat yang benar, puasa, dan ibadahnya.
Ketiga, bagaimana para dai ini menjadi teladan bagi masyarakat. Tiga hal inilah yang utama. Setiap para dai yang diutus kita tekankan untuk memiliki tiga aspek ini sebagai bekal di tempat yang diutus. Selain itu, kita harapkan juga para dai menguasai berbagai keterampilan tadi.
Ada potensi lahirnya para dai lokal?
Biasanya, kalau untuk daerah-daerah yang memungkinkan, anak-anak di sana yang tamatan sekolah menengah atas kita bawa mengikuti program sekolah tinggi ilmu dakwah di Jakarta. Itulah salah satu bentuk kaderisasi yang dilakukan para dai. Begitu selesai dan tamat dari sini, mereka dikembalikan untuk membangun kampung halamannya.
Seperti para dai yang dari Sambas, setiap tahun mereka mengirimkan putra daerah mereka ke sini (Jakarta). Begitu selesai, mereka kembali mengabdi di Sambas.
Sementara, untuk tempat lain masih belum. Yang sudah selesai itu baru yang dari Sambas saja. Kalau yang dari Sambas lebih dari 50 orang dai, baik yang putra maupun putri. Mereka sudah kembali ke kampung halamannya untuk berdakwah.
Sudah berapa daerah yang dikirim para dai pedalaman?
Secara keseluruhan, lebih dari 300 orang dai. Dari Aceh sampai ke Papua, semuanya ada. Yang lebih menonjol adalah daerah di perbatasan dan pedalaman. Misalnya, Kepulauan Riau, itu banyak daerahnya yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia. Pulau-pulau di situ, kita tempatkan para dai di sana.
Apa kendala dan tantangan terberat bagi para dai?
Para dai itu tidak bercerita tentang hal berat selama mereka di sana. Persoalannya, kalau mereka menikmati sebagai dai, tidak ada lagi hal berat.
Namun, yang menjadi kendala bagi para dai di daerah seperti perbatasan itu adalah soal transportasi yang masih sulit. Para dai terpaksa jalan kaki. Para dai itu kadang harus hidup sederhana dan membaur bersama masyarakat karena persoalan ekonomi masyarakat yang belum memadai. Kalau di daerah Kepulauan Riau, persoalan seperti ini tidak jadi masalah. Masalahnya adalah bersentuhan dengan perbatasan negara asing itu.
Apa permasalahan terkait biaya dai dan donasi untuk dakwah di pedalaman?
Makanya, Republika harus menjadi corong kita untuk mengimbau orang yang mau berinfak dan ikut serta membantu dakwah di pedalaman. Kita mengandalkan dari umat saja karena tidak punya sumber apa-apa kecuali dari umat.
Jadi, maju atau tidaknya dakwah yang kita kendalikan sekarang ini, itu kembalinya kepada kesiapan umat untuk berpartisipasi.
Sekarang ini, kita programkan bagaimana setiap masjid dari masjid-masjid besar di Jakarta ini membiayai satu orang dai. Untuk satu orang dai itu, satu bulan kan cuma Rp 1 juta untuk honornya. Kalau masjid-masjid besar, seperti Masjid Al Azhar di Kebayoran, Masjid Sunda Kelapa, dan masjid-masjid lainnya, saya kira tidak berat untuk menanggung Rp 1 juta.
Kalau, misalnya, ada 10 orang saja yang berinfak untuk dakwah di pedalaman ini setiap bulannya, berarti bisa membiayai seorang dai. Kalau ada 20 orang, berarti per orang kan cuma Rp 50 ribu. Persoalannya, tinggal bagaimana kita berkoordinasi dengan pengurus masjid saja.
Apa ada gesekan antara masyarakat dan para dai yang datang?
Sejauh ini tidak ada. Kita prinsipnya Islam itu rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam). Jadi, tidak pernah ada gesekan itu. Kecuali, orang lain yang memang ingin menggesek kita, itu ada. Sampai saat ini juga belum ada dai yang ditolak. rep:hannan putra ed: hafidz muftisany