Fatwa ulama akan menjadi pegangan umat dalam menjalankan syariat. Untuk itulah, mufti (orang yang memberikan fatwa) merupakan ulama-ulama yang memiliki kompetensi dari segi ilmu dan pengalaman hidup. Banyak bekal yang harus dimiliki untuk menjadi mufti.
Jumhur ulama bersepakat untuk memberi persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufti. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat umum, syarat pokok, dan syarat pelengkap. Syarat umum yakni baligh, Muslim, sehat pikiran, dan cerdas.
Sementara, syarat pokok mencakup menguasai kandungan Alquran beserta ilmu-ilmunya yang mencakup ayat-ayat hukum, asbabun nuzul, nasakh-mansukh, takwil-tanzil, makiyah–madaniyah, dan sebagainya. Selain itu juga hafal dan menguasai berbagai hadis Nabi SAW dengan seluk-beluk asbabul wurud, periwayatan, ilmu mustalah, dan sebagainya.
Seorang mufti juga harus mahir berbahasa Arab berikut dengan kaidah-kaidah dan pengetahuan tentang literatur bahasa, yaitu ilmu nahwu-sharaf, balaghah, mantiq, bayan, ma'ani, adab, fiqhul lughah, dan sebagainya. Selanjutnya, mufti harus memahami dan menguasai ilmu ushul fikih beserta qawaid fiqhiyyahnya.
Sedangkan, syarat-syarat pelengkap yakni berwawasan luas, mengetahui seluk-beluk khilafiyah, serta punya kompetensi untuk berijtihad dalam masalah yang belum ada pemecahannya dari segi hukum. Karena fatwa merupakan produk dari sebuah ijtihad yang didefenisikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menggunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara' dari kitabullah dan hadis Rasul.
Para ulama lainnya juga memberi syarat-syarat tambahan yang juga perlu diperhatikan seorang mufti. Misalkan, seorang mufti dalam memberi fatwa harus berniat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT dan jauh dari tujuan kepentingan duniawi seperti pangkat, kedudukan, kekayaan, kekuasaan, dan sebagainya. Seorang mufti juga harus menjaga wibawa, sabar, dan tidak menyombongkan diri.
Seorang mufti idealnya adalah orang yang berkecukupan hidupnya sehingga tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Sehingga dalam mengeluarkan fatwa tak terhalang lidahnya karena kekuasaan orang lain. Mufti yang ideal juga paham seluk-beluk ilmu kemasyarakatan sehingga fatwa yang dihasilkan punya maslahat dari semua sisi kehidupan.
Ulama kontemporer Syekh Yusuf Qaradhawi menambahkan, di samping ahli dan berwawasan sebagaimana disyaratkan di atas, seorang mufti juga harus memiliki moral yang baik. Soal kepribadian, akhlak, sikap, tutur kata, dan sebagainya, hendaklah ia menjadi teladan bagi masyarakat. Tak boleh ia memperlihatkan akhlakul mazmumah atau sifat tercela di depan khalayak umum.
Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal menekankan, jika syarat-syarat tersebut tak terpenuhi hendaklah seseorang takut untuk berfatwa. Sebagaimana sabda Nabi SAW, "Orang yang paling berani di antara kalian dalam berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka (HR ad-Darimi). Hal ini ditujukan bagi para dai dan mubaligh yang belum mumpuni ilmunya tapi sudah lancang menfatwakan halal-haram di tengah-tengah masyarakat.
Mungkin seseorang yang berfatwa punya tujuan dan motivasi yang baik. Sama sekali tak terniat dalam hatinya akan merusak syariat. Ia ingin menunjukkan loyalitasnya dalam dakwah dan menegakkan hukum Allah. Namun, karena ia bukanlah orang yang punya kompetensi sebagai mufti maka fatwa yang diucapkannya justru membingungkan umat.
Banyaknya para mubaligh yang tak punya kompetensi sebagai mufti dalam menjawab pertanyaan masyarakat adalah biang kerusakan umat. Mubaligh yang ringan lidahnya menentukan halal-haram tentang berbagai persoalan di masyarakat perlu diwaspadai. Sembarangan dalam berfatwa berarti menggiring umat ke arah yang salah.
Sebagaimana sabda Nabi SAW, "Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari tengah manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Hingga ketika tidak tersisa satu pun dari ulama, orang-orang menjadikan orang-orang bodoh untuk menjadi pemimpin. Ketika orang-orang bodoh itu ditanya tentang masalah agama mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan." (HR Bukhari Muslim).
Para ulama yang mendalam ilmunya bahkan sering mengatakan "saya tidak tahu" ketika ditanya umat. Mereka tak merasa segan atau gengsi jika memang mereka tak tahu persoalan tersebut. Sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang pernah ditanya 40 persoalan agama, hanya dua saja yang ia jawab. Selebihnya, hanya ucapan la adri (saya tidak tahu).
Mengingat beratnya persyaratan menjadi mufti, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, fatwa secara resmi hanya boleh diberikan oleh MUI saja. MUI juga mengimbau agar fatwa tidak dikeluarkan secara personal (ijtihad fardiyah) tapi secara kelembagaan (ijtihad jamaiya/).
MUI sendiri dalam proses pengambilan fatwa harus melalui kajian yang sangat apik dan detail. Tak jarang suatu masalah butuh waktu berbulan-bulan karena harus melalui pengkajian yang sangat mendalam. Tak hanya itu, pengkajian MUI yang memakan waktu cukup lama itu pun melibatkan para pakar dan ahli di bidangnya. Jadi para mubaligh hendaklah merujuk kepada fatwa MUI ketika mendapat pertanyaan serupa di masyarakat.
Di samping MUI, lembaga-lembaga kajian yang memang sudah dikenal kredibel pun boleh didengarkan fatwanya. Misalnya, fatwa yang dikeluarkan oleh Bahtsul Masail Nahdatul Ulama (NU) serta Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Selain itu, lembaga-lembaga kajian yang memenuhi ketentuan dan persyaratan, fatwa yang mereka hasilkan bisa menjadi bagian dari fatwa di dalam terminologi fikih. Allahu'alam. n ed: hafidz muftisany