Ikatan pernikahan adalah salah satu yang diistilahkan Alquran dengan mitsaqan ghalizha (ikatan yang kuat). (QS an-Nisa [4]: 154). Artinya, ikatan suci pernikahan bukanlah perkara enteng bak membeli kacang goreng. Kalau tidak enak, bisa dibuang begitu saja. Walau perceraian disebut sebagai hal mubah (boleh), perbuatan ini juga disebut sebagai perkara yang paling dibenci Allah SWT.
Pakar parenting Islami Ustaz Mohammad Fauzil Adhim mengatakan, dalam Alquran hanya tiga kali disebutkan kalimat mitsaqan ghalizha tersebut. Yakni, perjanjian yang berkenaan dengan tauhid, perjanjian Allah dengan para Nabi ulul-azmi, dan perjanjian dalam ikatan pernikahan. "Ini sebagai penghormatan Islam bagi orang yang menikah. Penghormatan yang sama dengan perjanjian-perjanjian agung lainnya," jelas Fauzil kepada Republika, Rabu (6/1).
Baru-baru ini, terkuak data mengejutkan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama (Kemenag). Hasil riset mereka menyebutkan, dalam lima tahun terakhir angka perceraian terus meningkat. Dalam kurun 2010 hingga 2014, dari dua juta pasangan yang menikah, 15 persen di antaranya telah bercerai. Angka perceraian terus naik setiap tahunnya. Pada 2014 Pengadilan Agama (PA) telah mengumpulkan 382.211 kasus perceraian.
Banyak pihak yang mendukung batas usia diperbolehkan menikah untuk dinaikkan. Semula, dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Tujuannya, agar adanya kedewasaan serta kematangan emosional ketika memasuki pernikahan. Namun, menurut Fauzil, tidakan ini belum tepat sasaran dalam membendung kasus-kasus perceraian.
"Setelah usia minimal menikah menjadi 18 tahun, kita perlu memeriksa lebih lanjut apakah benar-benar terjadi penurunan (angka perceraian) atau tidak. Ternyata, perceraian malah semakin melonjak," jelasnya.
Menurut Fauzil, pada 2009 hanya terdapat 216.286 kasus perceraian. Jumlah tersebut terus naik pada 2010 menjadi 285.184 kasus, 2011 menjadi 258.119 kasus. Kemudian, angka ini melonjak dengan sangat fantastis pada 2012 menjadi 372.577 kasus dan pada 2013 sebanyak 324.527.
Menurut Fauzil, kedewasaan tak selalu tumbuh beriringan dengan usia. Melihat dari kasus-kasus perceraian, kebanyakan pelaku malah bukanlah dari mereka yang menikah di usia muda. "Padahal, semakin bertambah usia tidak dengan sendirinya menjadi seseorang semakin dewasa. Alangkah banyak orang yang usianya sudah lebih dari cukup, tetapi tetap kekanak-kanakan," jelas penulis buku Indahnya Pernikahan Dini ini.
Tuntunan Islam dalam pernikahan selalu menyebut istilah mu'asyarah bil ma'ruf (pola komunikasi yang baik). Hal ini tidak terlepas dari bekal agama yang dimiliki suami istri sebelum dan sesudah memasuki pernikahan.
"Penyebab konflik rumah tangga yang bahkan berakhir dengan perceraian, paling banyak justru komunikasi. Cara kita menyampaikan maksud, pikiran, dan perasaan itulah yang kerap menjadi sebab bertikainya suami istri yang saling mencintai," paparnya.
Jika suami istri memiliki pola komunikasi (communication pattern) yang baik maka mereka sudah memiliki modal awal untuk menyelesaikan berbagai masalah. Fauzil mencontohkan keluarga Rasulullah SAW. Beliau SAW punya panggilan sayang untuk istri-istrinya. Misalkan, Aisyah RA dipanggil humaira (orang yang pipinya kemerah-merahan) atau muwaffaqah (wanita yang diberi petunjuk). "Tampaknya sepele, tetapi berawal dari sebutan yang mesra, tutur kata selanjutnya akan terasa lebih berharga," jelas Fauzil.
KH Cholil Ridwan Lc menambahkan, sepasang calon pengantin yang akan menikah hendaknya memahami betul seluk-beluk rumah tangga. Pemerintah setempat harus benar-benar membekali mereka dengan pengetahuan membina rumah tangga sakinah.
"Sebelum pernikahan, pembinaan atau konseling bagi calon suami istri itu perlu dimantapkan. Apalagi, bagi mereka yang belum punya pengalaman berumah tangga," jelas Kiai Cholil kepada Republika, Rabu (6/1). Dengan adanya pelatihan pranikah yang baik, calon pengantin akan mengerti hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Mereka akan berpikir panjang untuk menempuh jalan bercerai.
"Yang perlu dipahami, perceraian itu adalah perkara halal yang paling dibenci Allah. Jadi, harus menjauhi pikiran-pikiran yang mengarah pada perceraian," pesan Kiai Cholil.
Kiai Cholil mengibaratkan jalan perceraian dengan pintu darurat dalam pesawat. Pesawat tidak boleh lepas landas jika tidak memiliki pintu darurat. Namun, pintu tersebut bukanlah untuk dipakai seperti pintu yang lain.
Penumpang dilarang untuk turun di pintu tersebut tanpa ada komando dari pilot. Pintu itu hanya boleh dibuka kalau terjadi hal-hal darurat selama dalam perjalanan. "Bercerai itu boleh, kalau sudah berstatus darurat. Cerai itu pintu emergency-nya kalau di pesawat," jelasnya.
Ia mengingatkan, masyarakat jangan sampai menganggap kasus perceraian sebagai hal biasa dan lumrah. "Sekarang sudah ada Undang-Undang Perkawinan yang mengharuskan talak jatuh di pengadilan. Jadi, suami tidak boleh sewenang-wenang. Bagi wali hakim yang dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA) wajib untuk mempersulit jatuhnya talak kecuali untuk kasus yang memang sudah mencukupi syaratnya," jelas Kiai Cholil.
Kiai Cholil mengatakan, adanya bab talak dalam Islam bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Ada kalanya rumah tangga diterpa persoalan yang tak bisa dielakkan. Bisa jadi, jika rumah tangga tetap berlanjut tanpa perceraian justru menimbulkan mudarat yang lebih besar. Misalkan, suami sebagai ahli maksiat yang suka berzina, membunuh, dan menyakiti fisik istri. Dalam hal demikian, bab talak ini dibutuhkan.
Namun, dengan masalah-masalah yang ringan, Kiai Cholil mengingatkan agar pasutri mau bersabar. Di samping itu, masyarakat jangan pula ikut mengompori agar rumah tangga mereka bercerai. "Sekarang masyarakat malah ikut-ikutan mengompori. Konflik di rumah tangga selebritas kita lihat, media malah ikut-ikutan mengompori. Itu dilarang," jelasnya.
Menurut Kiai Cholil, kunci keharmonisan rumah tangga ada dua hal. Bagi suami, kuncinya amanah. Jagalah istri karena dia amanah dari Allah SWT dan dari orang tuanya. Bagi istri, kuncinya adalah taat. Taatilah seluruh perintah suami selama tidak bertentangan dengan akidah, syariah, dan akhlakul karimah.
"Bagi suami, istri itu amanah dari mertua untuk membimbing mendidik, mengasuh, mengawasi, dan sebagainya. Ijab qabul itu adalah serah terima amanah dari mertua kepada menantu laki-laki. Bagi istri, taatlah kepada suami. Dua itu kuncinya," papar Kiai Cholil. n ed: hafidz muftisany