Konflik dalam rumah tangga ibarat bumbu dalam masakan. Namun jika konflik kerap terjadi dan berujung pada langkah perceraian, berarti ada hal yang salah salam membangun hubungan.
Kurangnya persiapan disinyalir menjadi salah satu penyebab mendasar kegagalan pernikahan. Hal ini diamini oleh pengajar Pondok Pesantren Asma Amanina Yogyakarta Ustazah Asri Widiarti.
"Di negara kita pelajaran pernikahan itu kan tidak masuk kurikulum. Tidak ada pembekalan, tidak ada ilmunya. Jadi harus cari sendiri," ujar dia saat dihubungi Republika, Rabu (6/1).
Menurut Ustazah Asri, seperti halnya Matematika, pengetahuan mengenai pernikahan adalah modal penting dalam menjalani kehidupan. Ini tak cukup hanya dibekali dengan beberapa kali pertemuan, beberapa jam saja. "Perlu kesiapan ilmu, sikap, emosi dan skill," ujar dia.
Idealnya, pembekalan pernikahan perlu dimulai seseorang telah memasuki masa baligh. Mereka harus sudah memahami kewajiban sebagai perempuan atau laki-laki. "Jangan sampai seorang anak, baligh pun tidak tahu harus bersikap seperti apa. Dia harus tahu tanggung jawabnya nanti akan seperti apa," kata dia.
Keluarga memegang peran penting dalam mempersiapkan pernikahan. Sebab, seorang anak akan bersikap, mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu berdasarkan pengalaman yang paling dekat dengan dirinya.
Dalam memutuskan calon suami misalnya, seorang perempuan akan mempertimbangkan berdasarkan apa yang ia lihat terjadi dalam keluarga dan lingkungannya. "Kalau di keluarganya menganggap mapan atau gaya hidup yang serba tercukupi sebagai kunci kebahagiaan, ya dia akan berjuang untuk itu," ujar Ustazah Asri.
Anggota Dewan Fatwa MUI DKI Jakarta KH Auza'i Mahfudz Anwar mengatakan kesiapan dalam menikah mencakup ilmu syariat dan ilmu dalam menjalani kehidupan. Dengan adanya ilmu, setiap permasalahan akan diselesaikan dengan berbagai pilihan yang tak lepas dari syariat Islam.
Adapun ilmu berumah tangga penting untuk mewujudkan keluarga yang bahagia. Ia mencontohkan, Imam Ahmad bin Hambal pernah bertanya kepada istrinya, apakah ia pernah menyakitinya selama pernikahan.
Istrinya menjawab, "Wahai Imam, aku tak pernah tersakiti oleh engkau, kecuali ketika engkau masuk ke rumah dan aku mendengar kepakan kakimu."
Kiai Auza'i menjelaskan, dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa ilmu syariat saja tidak cukup. Ilmu tersebut harus diimplementasikan dengan sejumlah pengetahuan praktis.
Dalam perkara materi, Kiai Auzai mencontohkan ketika Nabi Muhammad SAW hendak menikahkan Fatimah RA dan Ali bin Abi Thalib RA. Ketika itu Ali tak memiliki apa-apa. Rasulullah SAW kemudian meminta Ali menjual perisai yang ia miliki. Tameng itu dihargai 480 dirham. Rasulullah kemudian meminta Ali membagi dua uang tersebut, untuk membeli parfum dan perhiasan sebagai mahar bagi Fatimah.
Sejarah mencatat mahar yang diberikan Rasulullah SAW tak pernah lebih dari 480 dirham. Jika dikonversi dengan harga perak saat ini, jumlah ini setara dengan Rp 7.959.600.
"Kalau mau sesuai dengan Nabi Muhammad SAW ya maharnya Rp 7.959.600. Tapi kalau ada yang mau menikah dengan mahar di bawah itu, berarti dia sebaik-baik wanita (yang paling murah maharnya)," ujar dia.
Kiai Auzai berpesan, untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, hendaknya seseorang memilih pasangan yang taat kepada Allah SWT.
Tak jauh berbeda, Ustazah Asri berpesan agar para pasangan mempersiapkan diri sebaik-baiknya, membekali diri dengan pengetahuan, sikap, mental dan ketrampilan yang baik. "Kita kan sedang mempersiapkan surga di dunia, karena rumah itu kan surga. Baiti jannati," ujar dia. n ed: hafidz muftisany