Masyarakat dunia digegerkan dengan endemik virus zika di Amerika Selatan. Virus ini ditularkan lewat nyamuk Aedes aegypti. Virus zika memiliki kadar bahaya yang tak sepele.
Jika menyerang ibu hamil, ada risiko besar sang janin akan terlahir dengan kondisi mikrosefali (cacat pertumbuhan otak) pada bayi baru lahir. Ukuran kepala bayi akan lebih kecil dari bayi normal.
Virus ini juga menyebabkan Guillain-Barre, yakni gangguan saraf yang menyebabkan kelemahan otot yang dimulai pada kaki yang kemudian menyebar ke lengan dan wajah.
Ancaman virus zika terhadap wanita hamil membuat banyak orang di Amerika Selatan memilih melakukan aborsi. Lalu, apakah tindakan aborsi karena alasan medis seperti ini dibenarkan dalam Islam?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan dua fatwa tentang aborsi. Pada dasarnya MUI mengharamkan aborsi (pengguguran janin), baik sebelum maupun sesudah nafkh al-ruh (ditiupkan ruh). Kecuali ada alasan medis.
MUI mengeluarkan pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar." (QS al-Isra [17]:33).
Menurut Imam Ghazali dari kalangan mahzab Syafi'i, jika nuthfah (sperma) telah bercampur dengan ovum dan siap menerika kehidupan maka merusaknya dipandang sebagai tindak pidana (jinayah).
Membolehkan aborsi sebelum nafkh al-ruh dapat menimbulkan banyak dampak negatif di samping ada beberapa dampak positif. Menghukumi hal tersebut menghindari dampak negatif lebih diutamakan sesuai dengan kaidah fikih, "Menghindarkan kerusakan lebih diutamakan dibanding mendatangkan kemashlahatan."
Ada empat pandangan berbeda soal boleh tidaknya aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh pada janin. Pendapat pertama, mubah secara mutlak tanpa harus ada alasan medis. Pendapat ini digaungkan oleh ulama Zaidiyah, sebagian ulama dari mahzab Hanafi, mahzab Syafi'i, Maliki, dan Hambali.
Pendapat kedua hukumnya mubah asal ada alasan medis. Pendapat ini dikeluarkan sebagian ulama dari kalangan Hanafiyah dan sekelompok ulama Syafi'iah. Pendapat ketiga makruh secara mutlak menurut pendapat sebagian ulama Maliki. Pendapat terakhir adalah haram menurut sebagian ulama Maliki dan Zahiri.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas MUI menjabarkan keadaan apa saja yang memperbolehkan tindakan aborsi dilakukan. Pertama, harus ada uzur yang bersifat darurat.
Keadaan darurat yang dimaksud adalah ibu hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC, dan penyakit fisik lainnya yang harus ditetapkan dokter. Kedua, keadaan darurat terjadi jika kehamilan tersebut mengancam nyawa si ibu.
Uzur selanjutnya adalah jika ada hajat yang berkaitan dengan kehamilan sehingga diperbolehkan aborsi. Hajat yang pertama adalah janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan.
Lalu, boleh juga aborsi jika perempuan tersebut adalah korban pemerkosaan yang penetapannya harus diputuskan oleh keluarga korban, dokter, dan ulama. MUI memberikan catatan, bolehnya aborsi dengan uzur ini selama usia janin belum mencapai 40 hari.
Menilik beberapa kaidah tersebut, aborsi karena virus zika bisa dikategorikan aborsi dengan alasan medis. Penderita karena virus ini bisa terserang Guillain-Barre yang menyebabkan kematian. Jika fakta medis ini ditemukan maka bisa menjadi uzur sebagai hal yang darurat.
Selain itu, janin yang dikandung berisiko besar menderita mikrosefali yang harus didampingi selama penyembuhannya. Artinya keadaan tersebut masuk dalam uzur hajat di mana janin dideteksi menderita kelainan jika lahir. Semua pernyataan tentang sejauh mana bahaya virus yang mengancam harus sesuai pendapat ahli medis.
Namun, jangan sampai ramainya soal aborsi karena virus zika ini "dimanfaatkan" beberapa orang yang turut mengaborsi janin karena faktor perzinaan. Aborsi janin karena faktor zina hukumnya tetap haram. Allahua'lam. Oleh Hafidz Muftisany