Selasa 16 Sep 2014 16:00 WIB

Harga Mahal Penggabungan

Red:

JAKARTA -- Wacana penggabungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) dengan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) harus ditinjau ulang. Hal ini agar tidak memunculkan masalah ke depannya.

Sekretaris Ditjen Dikti Padono Suwignjo mengatakan, pemisahan Ditjen Dikti dengan Kemendikbud lalu digabungkan dengan Kemenristek memang bertujuan meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan agar riset lebih terorganisasi. Tapi, untuk melakukan ini semua harus ada harga mahal yang mesti dibayar.

Dalam penggabungan Ditjen Dikti dan Kemenristek, kata Padono, perlu dilakukan restrukturisasi, karena baik Dikti maupun Kemenristek punya struktur yang sama-sama kuat. Sementara, restrukrisasi membutuhkan waktu yang cukup lama.

Dalam proses restrukturisasi, ujar Padono, pasti ada efisiensi eselon. Harus dipastikan, eselon yang dihilangkan itu ditempatkan di tempat lain yang jelas agar tidak menimbulkan masalah.

Misalnya, kata Padono, setelah restrukturisasi hanya dibutuhkan lima dirjen, maka lima dirjen yang lain akan ditaruh di mana harus ada kejelasan. "Jangan sampai ada dirjen yang tidak jelas tempatnya," katanya.

Menurutnya, kalau penggabungan Dikti dan Kemenristek tidak serius ditangani, ujar Padono, hanya menghabiskan waktu untuk menggabungkan. "Pada prinsipnya, Dikti tidak apa-apa digabung dengan Kemenristek, asalkan direncanakan dengan baik," ujarnya.

Terkait adanya anggapan jika Dikti digabung dengan Kemenristek maka research university bisa lebih mudah diraih, Padono mengatakan, sebenarnya, baik riset yang dilakukan di Kemenristek maupun Dikti, keduanya sama-sama mengacu pada master plan riset nasional. Tapi, karena riset dikelola unit yang berbeda, terkadang dalam riset ini terjadi duplikasi. Misalnya, riset yang dilakukan di Kemenristek juga dilakukan Dikti.

Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan, usulan itu harus ditelaah lebih lanjut. "Perlu diketahui apa objektif atau tujuan dari pemisahan Ditjen Dikti dari Kemendikbud untuk digabung ke Kemenristek," katanya, Senin (15/9).

Selama ini, ujar Nuh, Ditjen Dikti digabung dengan Kemendikbud agar ada percepatan kenaikan Angka Partisipasi Kasar (APK) siswa dari PAUD, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Sehingga, sebaiknya pemerintahan yang akan datang berpikir masak-masak jika ingin memisahkan Ditjen Dikti dari Kemendikbud.

Sementara itu, tim transisi Jokowi-JK belum memutuskan apakah wacana itu jadi diwujudkan. "Soal Ditjen Dikti dipisah dari Kemendikbud dan digabungkan dengan Kemenristek itu baru salah satu opsi saja. Tapi, hingga saat ini belum diputuskan bagaimana," kata Deputi Tim Transisi Jokowi-JK Anies Baswedan, Senin (15/9).

Menurut Rektor Universitas Paramadina itu, usulan pemisahan Ditjen Dikti dari Kemendikbud dan digabung ke Kemenristek bukan bermaksud membuat kabinet semakin gemuk. Kementerian di era Jokowi-JK tetap berjumlah 34. "Hanya, ada yang dipisah atau digabung saja," katanya.

Sebelumnya, Wakil Presiden Terpilih periode 2014-2019 Jusuf Kalla (JK) mengatakan, rencana membagi dua Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah dikaji menjadi Kementerian Pendidikan Menengah dan Kementerian Perguruan Tinggi dan Riset. Pertimbangannya, menurut JK, karena perguruan tinggi memang harus terhubung dan bersentuhan langsung dengan riset.

"Ilmu tentu butuh riset karena itulah sedang dalam pertimbangan Kemendikbud dan saat ini sedang dibahas, jadi dibagi dua Kementerian Pendidikan Menengah dan Kementerian Perguruan Tinggi dan Riset," kata Jusuf Kalla di Jakarta, Rabu (3/9).

Dijelaskan JK, perguruan tinggi harus fokus pada riset sehingga ada keutamaan. Misalnya, jika bicara soal padi dan jagung maka ke sanalah arah risetnya. "Makanya, riset harus bergandengan dengan perguruan tinggi agar semua tidak pasif. Itulah arahnya," tegas JK.

rep:dyah ratna meta novia ed: muhammad hafil

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement