JAKARTA — Latar belakang sejarah disinyalir menyebabkan Indonesia memiliki kekurangan dalam jumlah doktor. Terutama, terkait dengan dampak dari politik penjajahan.
Ketua Senat Dewan Guru Besar Universitas Atma Jaya Alois Agus Nugroho mengatakan, penyebab kurangnya doktor maupun guru besar di Tanah Air kalau diusut ke belakang karena mulainya pendidikan di Indonesia yang cukup terlambat. Yakni, baru pada abad ke-20 penjajah Belanda menerapkan politik etis. Itu disebabkan Belanda sebelumnya tidak ingin rakyat Indonesia pintar karena bertujuan mengambil bahan mentah.
Sedangkan pemerintah kolonial Inggris yang menjajah Singapura maupun Malaysia, bukan mencari barang mentah. Sehingga, mereka berupaya mendidik rakyat lokal agar mempunyai daya beli.
"Itu memberikan keuntungan pendidikan di Malaysia dan Singapura. Selain itu, Indonesia juga lebih kental budaya lisan daripada budaya baca dan tulis, padahal yang namanya doktor harus banyak membaca dan menulis," kata Agus, Selasa (30/9).
Tingkat ketelitian dan akurasi di Indonesia, Agus mengungkapkan, masih sangat lemah. Contohnya saja kalau janjian mau bertemu, selalu bilang kapan-kapan, berbeda dengan bangsa Eropa yang selalu berusaha tepat waktu saat bertemu.
"Makanya wajar kalau Indonesia jumlah doktornya sedikit. Sebab, latar belakang dan budaya memengaruhi. Ini yang harus diubah, perlu revolusi mental," ujar Agus.
Di Indonesia, Agus mengatakan, yang meprihatinkan masih adanya budaya nerabas yang ingin instan. Ada calon guru besar yang melakukan plagiasi sehingga tidak heran kalau Dikti jadi sangat berhati-hati saat mau memberikan persetujuan seseorang untuk menjadi guru besar.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengatakan, jumlah doktor di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Namun, tetap saja jumlah tersebut masih kurang jika dibandingkan jumlah penduduk yang ada.
Untuk meningkatkan jumlah doktor, kata Nuh, pemerintah memberikan beasiswa Bidikmisi untuk S-2. Mahasiswa lulusan S-2 yang prestasinya bagus berhak mendapatkan beasiswa S-3 untuk meraih gelar doktor.
"Beasiswa ini memang diberikan untuk mempercepat jumlah lulusan S-2 maupun doktor di Indonesia. Dengan percepatan ini saya optimistis lima tahun nanti akan ada ribuan anak-anak Indonesia yang dapat menyelesaikan pendidikan S-2 maupun doktor," kata Nuh.
S-2 maupun S-3 ini, menurut Nuh, bisa dilaksanakan di perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri. Itu semua berlaku baik dari kalangan mampu maupun tidak mampu asalkan memiliki prestasi yang bagus. rep:dyah ratna meta novia ed: muhammad hafil