JAKARTA — Palang Merah Indonesia (PMI) mendorong perguruan tinggi (PT) menciptakan sistem untuk mengantisipasi bencana alam. Salah satunya bisa berupa sistem peringatan dini kebencanaan.
Sistem tersebut dapat dimanfaatkan masyarakat untuk menghindari bencana. Sistem ini diyakini mampu mencegah munculnya korban jiwa akibat bencana alam.
Wakil Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Ginanjar Kartasasmita mengatakan, sistem peringatan kebencanaan ini merupakan bentuk kepedulian terhadap masyarakat luas. Sistem ini dinilainya sangat dibutuhkan masyarakat yang tinggal di wilayah rentan bencana alam. "Perguruan tinggi sebagai institusi ilmiah harus bisa menghasilkan early warning system, mengkaji bagaimana mengatasi dampak bencana juga," kata dia di Universitas Paramadina, Jakarta, Selasa (10/1).
Ginanjar mengatakan, strategi mengatasi bencana bergantung pada skala bencananya. Apabila bencana terjadi dalam skala besar, banyak pihak akan terlibat untuk menanggulanginya.
Ginanjar menyamakan kondisi geologis Indonesia dengan Jepang yang rawan bencana. Namun, ia menyebut, masyarakat di Jepang menjadikan kesiapan menghadapi bencana sebagai karakter hidup.
Perguruan tinggi di Jepang sangat berperan untuk menyiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana. Ia mencontohkan, perguruan tinggi di Jepang telah mencarikan teknologi bagaimana membuat bangunan atau rumah yang tahan gempa. Selama ini bangunan dari kayu diyakini sangat tahan gempa, tetapi rawan terhadap api. "Perguruan tinggi harus menyumbangkan ilmu pengetahuannya," ujar dia.
Menurut Ginanjar, banyak hal yang bisa dilakukan perguruan tinggi untuk mengantisipasi bencana di Indonesia. Salah satunya, bagaimana mengelola bencana dan bagaimana memulihkan kondisi pascabencana. Bagaimana membantu masyarakat menghadapi bencana dan mengatasi trauma.
Ginandjar Kartasasmita menyebut modal sosial masyarakat di luar Pulau Jawa dalam penanganan bencana masih rendah. Situasi ini menyebabkan penanganan bencana di luar Pulau Jawa tidak cepat. Penanganan bencana di Papua tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan masyarakat luar daerah tersebut. "Tanpa bantuan dari luar, mereka kesulitan. Masyarakatnya sendiri mampu sebenarnya, kalau bencana kecil," ujar Ginandjar.
Sementara, ia menyebut, modal sosial masyarakat di Pulau Jawa membuat mereka lebih siaga terhadap bencana. Dia mengakui, masyarakat di Jawa memiliki jiwa gotong royong yang kuat. Dari dulu masyarakat Jawa pembentuk modal sosial siap menghadapi bencana.
Pihaknya meyakini, modal sosial sangat berkaitan dengan bagaimana masyarakat di daerah merespons, salah satunya terhadap bencana. Ia mencontohkan, ketika terjadi bencana di suatu daerah, banyak masyarakat yang langsung membantu dengan mengirimkan uang ke nomor rekening yang ditujukan untuk bantuan kemanusiaan.
"Memang untuk masyarakat yang jauh dari daerah terdampak bencana pasti repot kalau mau membantu korban bencana. Makanya lebih memilih mengirimkan uang," jelasnya.
Ginandjar menyebut, masyarakat terdampak bencana tidak selalu membutuhkan uang. Hal yang paling dibutuhkan daerah terdampak bencana, yakni air bersih. rep: Umi Nur Fadhilah, ed: Erdy Nasrul