Kapal Republik Indonesia (KRI) Banjarmasin 592 bertolak dari Makassar menuju Waisai melalui Sorong. Menumpang di atasnya tidak hanya TNI Angkatan Laut, tapi juga tim Bhakti Kesejahteraan Rakyat (Bhakesra) Bank Indonesia (BI). Mereka mempunya misi khusus hari itu, yakni menyusuri pulau-pulau terpencil dan melakukan penukaran uang, baik yang masih baik maupun sudah lusuh dan rusak.
KRI terlalu besar sehingga tidak bisa merapat di pelabuhan Waisai yang terbilang kecil. Tim terpaksa menggunakan kapal kecil dari kapal induk untuk mencapai pulau tersebut. Dengan hati-hati mereka menurunkan peti berisi uang sebanyak Rp 250 juta yang dibawa dari Jakarta dan terdiri atas berbagai pecahan uang besar hingga kecil.
Pasar Snon Bukor, Waisai, dipilih sebagai tempat penukaran. Uang yang diangkut di kapal dipindahkan ke mobil. Penukaran dilakukan di mobil dengan jendela yang terbuka. Ketika mobil diparkir, warga sekitar langsung mengerubungi. Mereka membawa uang dalam kepalan tangannya. Tak terlihat ada yang membawa dompet. "Tipikal masyarakat kita menggunakan uang sangat mengkhawatirkan. Ditaruh begitu saja," ujar Ketua Tim Bhakesra BI Handi Wijaya.
Nursiyah (36 tahun) contohnya. Ia datang ke tempat penukaran sambil menggenggam uangnya yang digulung. Ketika ia membuka kepalannya, ternyata uang di tangannya yang sebanyak Rp 48 ribu itu benar-benar sudah lusuh. Beberapa di antaranya malah sudah robek sebagian sehingga tidak diterima kasir. Uang yang bagian utuhnya kurang dari 2/3 bagian memang tidak bisa diterima BI.
Petugas BI mengingatkan Nursiyah agar tidak melipat uang serta menyimpannya secara rapi. "Dari awal dapat uang itu, memang sudah lecek," ujar Nursiyah berkilah. Akhirnya, ia hanya mendapat Rp 44 ribu. Namun, sepertinya ia tak mendengar ucapan petugas. Uang yang ia dapat langsung dilipat dan digulung.
Antrean semakin panjang. Di antara ibu-ibu yang sedang mengantre, ada seorang anak lelaki. Ia datang dengan uang yang sangat kotor karena getah pinang. "Bawa uang berapa, Dek?" tanya petugas. "Tidak tahu, Pak." Rupanya ia disuruh orang tuanya menukarkan uang tersebut.
Setelah dua jam bertugas, tim penukaran uang memutuskan untuk berhenti. Tiba-tiba ada seorang bapak berlari ke arah mobil. Ia bertanya, "Di sini bisa tukar uang rusak?. "Bisa, Pak," jawab petugas. Ia pun segera berlari ke rumah. Selang 15 menit, ia datang kembali dengan uang Rp 50 ribu. "Yang seperti ini masih bisa ditukar tidak, Pak?" tanyanya.
Petugas pun mengecek tingkat kerusakan dan keaslian uang tersebut. Uang berwarna biru itu sudah lusuh dan sebagiannya terpotong. Untung saja masih memenuhi syarat penukaran. Bapak tersebut akhirnya mendapatkan uang Rp 50 ribu baru. Uangnya kembali bernilai. "Terima kasih banyak, Pak," katanya dengan mata berkaca-kaca.
BI berhasil menukarkan uang sejumlah Rp 80 juta dalam waktu yang terbilang singkat. Sisa modal awal masih banyak. BI menawarkan sisanya kepada bank. Hanya ada satu bank di Waisai, yaitu PT Bank Pembangunan Daerah Papua.
Kepala Cabang BPD Papua cabang Waisai, Asromy, mengatakan, menjelang Lebaran, kebutuhan uang kecil meningkat. Pihaknya juga menerima penukaran uang rusak dari penduduk. Ia pun mengakui penduduk Papua menyimpan uang secara asal. "Ada orang yang menyimpan uang di koteka. Dibuntel-buntel dimasukkan," ujarnya. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan.
Penggunaan mata uang rupiah sebagai alat pembayaran di Indonesia merupakan harga mati. Tidak ada mata uang lain yang sah digunakan sebagai alat bayar walaupun transaksi dilakukan di pulau terpencil dan perbatasan. Luput memperjuangkan rupiah di satu pulau, pulau tersebutlah taruhannya.
rep:satya festiani ed: fitria andayani