Serangkaian antisipasi disiapkan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Namun, sejauh ini sektor jasa dinilai masih minim persiapan. Nanti banyak bank asing masuk, perlu kita mitigasi. Termasuk, ratifikasi perbankan harus dibahas secara menyeluruh, ujar Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anny Ratnawati.
Tahun depan persaingan di sektor jasa akan semakin ketat. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi cara pandang masyarakat yang makin beragam.
Dalam bidang jasa contohnya, Anny melihat banyak sekali masyarakat Indonesia menaruh kepercayaan kepada dokter asing. Padahal, di dalam negeri juga tidak kekurangan dokter ahli. Contoh lainnya di bidang perbankan. Banyak masyarakat memercayakan dana mereka kepada bank asing.
Di sisi lain, Anny melihat masih terjadi ketimpangan pada kinerja fiskal. Seperti, minimnya proporsi pembiayaan untuk korporasi usaha kecil menengah (UKM). Proporsi kredit didominasi oleh kredit modal kerja dan investasi, sedangkan peran trade finance belum berjalan maksimal. Ini ditujukan oleh sangat tingginya transaksi hulu dibandingkan transaksi hilir, kata Anny.
MEA merupakan pasar bebas di kawasan Asia Tenggara. Indonesia tentu tidak ingin menjadi sekadar pasar bagi negara negara lain.
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi melihat Indonesia bisa menjadi pemain andal dalam persaingan di ASEAN. Sejak empat tahun lalu, 99,6 persen sudah tidak ada lagi bea masuk, survive tidak? Survive, kan. Jadi, artinya kita bukan hanya lagi bertahan, tapi akan menjadi champion, ujar Mendag.
Tingginya jumlah kelas menengah diyakini menarik minat investor. Indonesia bisa memanfaatkan modal ini untuk membangun basis produksi, terutama barang-barang otomotif. Ke depannya, Indonesia juga harus memperkuat sektor hilir agar amunisi menguasai pasar ASEAN menjadi lengkap.
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengakui masih banyak proyek hilirisasi yang belum maksimal. Untuk itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merancang kebijakan industri pertumbuhan selama 25 tahun yang bisa direalisasikan secara bertahap per lima tahun. Salah satu sektor hilir yang belum maksimal digarap, yaitu pembangunan pengolahan mineral (smelter).
Indonesia juga masih harus memperkuat industri dalam negeri agar tangguh menghadapi gempuran produk impor. Hidayat mencontohkan, investasi yang dilakukan untuk membangun industri baja.
Sebelumnya, impor baja lebih dari 12 miliar dolar AS. Kini angka impor menyusut sepatuhnya karena industri dalam negeri mampu membuat baja. Hal yang sama juga terjadi pada industri Petrokomia dengan total impor lebih dari 10 miliar dolar AS. Jadi, yang penting investasi dasar, seperti investasi untuk baja, logam, industri otomotif, petrokimia, dan TI, kata Hidayat.
Selain itu, pengamat ekonomi Aviliani melihat pemerintah harus cermat mengalirkan insentif fiskal. Insentif harus diberikan untuk industri yang memiliki daya dukung ekspor tinggi.
Kalau tidak, semua pengusaha akan minta. Jadi, perlu selektif memilih industri yang akan mendapat insentif ini, ujarnya, Senin (18/8).
rep:meiliani fauziah ed: teguh firmansyah