JAKARTA — Bank Dunia memprediksi ekonomi negara Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, akan mengalami pertumbuhan lebih lambat hingga akhir 2014. Namun, pertumbuhan ekonomi diprediksi akan kembali naik pada 2015 mendatang.
Dalam "East Asia Pacific Economic Upadate" yang dipresentasikan dalam teleconference oleh ekonom utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Sudhir Shetty, Senin (6/10), disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi negara Asia Timur dan Pasifik akan turun dari 7,2 persen tahun 2013 menjadi 6,9 persen pada 2014. Tahun depan pertumbuhan ekonomi negara Asia Timur dan Pasifik diprediksi akan stagnan di angka 6,9 persen.
Laporan tersebut juga menyebutkan, Indonesia yang masih mengandalkan ekspor komoditas, pertumbuhan akan turun menjadi 5,2 persen pada 2014 jika dibandingkan tahun 2013 sebesar 5,8 persen. Hal ini disebabkan turunnya harga komoditas, belanja pemerintah yang lebih rendah daripada perkiraan, dan ekspansi kredit yang lambat.
"Cara terbaik bagi negara di kawasan ini dalam menangani risiko, dengan mengatasi kerentanan yang disebabkan oleh kebijakan keuangan dan fiskal yang lalu, dan melengkapi langkah-langkah ini dengan melakukan reformasi struktural untuk meningkatkan daya saing ekspor," kata Shetty.
Country Economist Bank Dunia untuk Indonesia, Alex Sienaert, mengungkapkan bahwa salah satu tantangan Indonesia untuk jangka pendek, yakni tekanan harga komoditas utama ekspor Indonesia, seperti minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara akan berdampak pada kondisi ekonomi. Tetapi, menurutnya, tantangan ini bisa diatasi jika Indonesia meningkatkan ekspor dari sektor manufaktur dan meningkatkan daya saing.
Untuk Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand, tindakan yang dapat meningkatkan pendapatan dan mengurangi subsidi yang kurang tepat sasaran, menurut Bank Dunia, akan membantu menciptakan ruang meningkatkan produktivitas dan investasi, upaya pengentasan kemiskinan, serta memperkuat pertahanan fiskal.
Pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dinilai Bank Dunia baik untuk Indonesia. Lead Economist Bank Dunia di Indonesia, Ndiame Diop, mengatakan akan ada dampak perlambatan pertumbuhan pada satu tahun pertama saat harga BBM dinaikkan sebagai akibat pengurangan subsidi.
Menurutnya, harus ada penyeimbangan dengan realokasi ke bidang lain, seperti infrastruktur. "Realokasi itulah yang nanti diharapkan membuat pertumbuhan ekonomi kembali positif" ujar Diop di Jakarta, Senin (6/10).
Besaran kompensasi yang dapat diberikan kepada warga miskin, kata Diop, akan tergantung pada daya beli warga miskin saat BBM dinaikkan. "Dana yang dihemat dari kenaikan BBM bisa sangat besar sehingga kompensasi kepada warga miskin dan perbaikan infrastruktur sangat mungkin dilakukan," katanya.
Selain itu, menurut Alex, kenaikan harga BBM 10 persen akan menaikkan inflasi sekitar satu persen. "Tapi, inflasi itu sifatnya sementara dan akan reda setelah setahun. Pola itu juga terjadi saat BBM dinaikkan pada 2013. Efeknya bertahan selama 12 bulan setelah itu semua kembali normal," ujarnya memaparkan.
Kombinasi program jangka pendek dan jangka panjang, kata Senior Economist Bank Dunia Ashley Taylor, juga penting dilakukan sebagai upaya mitigasi dampak kenaikan harga BBM. Menurutnya, saat BBM dinaikkan pada 2013, ada kombinasi mekanisme kompenasi jangka pendek melalui bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) dan jangka panjang melalui program jaminan sosial serta infrastruktur.
rep:fuji pratiwi ed: nidia zuraya