JAKARTA — Kontribusi penerimaan pajak dari orang-orang kaya belum maksimal. Padahal, potensinya masih masif untuk menambah pendapatan negara. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil menilai, ke depan, orang-orang kaya harus dikenai pajak secara benar.
"Perlu ada pembenahan dalam administrasi pajak," katanya di Jakarta, Selasa (12/1). Menurut Sofyan, apabila kontribusi orang-orang kaya dalam membayar pajak meningkat, belanja negara pun terkerek. Ujung-ujungnya, anggaran perlindungan sosial bagi masyarakat miskin pun bisa bertambah.
Selain itu, pendapatan yang diperoleh juga bisa digunakan untuk program-program yang bertujuan meningkatkan produktivitas masyarakat. Lebih lanjut, Sofyan menyebut, belum maksimalnya penarikan pajak untuk orang-orang kaya menjadi salah satu faktor penyebab ketimpangan pendapatan di Indonesia.
Pada tahun lalu, rasio gini yang menjadi ukuran ketimpangan masih berada di level 0,41. Level ini belum mengalami perubahan sejak 2013. "Satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50 persen kekayaan bangsa ini," ujar mantan menteri koordinator bidang perekonomian ini.
Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto mengatakan, tarif pajak yang dibebankan kepada pemodal dan tenaga kerja harus lebih adil. Selama ini pajak yang dikenakan kepada pemodal lebih rendah dibanding buruh.
"Ini secara struktural harus dibenarkan," katanya. Bambang mencontohkan, Brasil pada awal dekade 2000-an pernah mencatatkan rasio gini hingga 0,59. Setelah itu, Brasil fokus pada dua program, yakni anggaran untuk perlindungan sosial dan perluasan akses pendidikan. "Akhirnya, rasio gini turun menjadi 0,52. Namun, itu juga dalam 6-7 tahun," ujarnya.
Langkah Kemenkeu
Dalam keterangan pers, Senin (11/1), Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebut, otoritas fiskal telah menyiapkan tiga upaya untuk menggenjot penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Salah satunya adalah meningkatkan penerimaan pajak dari wajib pajak (WP) orang pribadi.
Untuk itu, Bambang menyebut, salah satu cara yang akan ditempuh untuk menggenjot penerimaan pajak WP orang pribadi adalah meningkatkan kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dengan NPWP, pemerintah lebih mudah melacak setiap transaksi yang dilakukan seseorang. "Misalnya, bisa kita lacak untuk pembelian barang-barang mahal," kata Bambang.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi mengakui, potensi pajak dari WP orang pribadi terbilang besar. Pajak pribadi banyak yang belum terpungut lantaran masih rendahnya kesadaran masyarakat memiliki NPWP.
Berdasarkan data statistik yang dimiliki DJP, terdapat 129 juta masyarakat kelas menengah yang pengeluarannya sebesar Rp 100 ribu-Rp 200 ribu per hari. "Namun, yang punya NPWP baru 27 juta," ujarnya.
Ken mengatakan, DJP akan mempermudah proses pembuatan NPWP. Kini dengan bermodal kartu tanda penduduk (KTP), seseorang sudah bisa memiliki NPWP. "Bikin NPWP juga bisa di tempat perbelanjaan. Tidak harus ke kantor pajak," katanya.
Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, DJP harus memiliki basis data yang baik untuk meningkatkan penerimaan pajak WP orang pribadi. Menurutnya, masih banyak penghasilan atau pendapatan, khususnya dari masyarakat atas, yang belum terjangkau pajak. "Banyak penghasilan tambahan dari para profesional serta kelompok masyarakat atas yang tidak terpantau," ujarnya.
Pada APBNP 2015, penerimaan pajak dari PPh 25/29 orang pribadi masih sangat kecil, yaitu berada di kisaran Rp 5 triliun. Karena itu, penguatan basis data serta teknologi informasi menjadi syarat mutlak untuk menggenjot penerimaan dari pajak WP orang pribadi. "Komisi XI telah mendukung dengan alokasi APBN cukup besar untuk perbaikan teknologi informasi di kantor-kantor perpajakan dan insentif remunerasi," katanya. ed: muhammad iqbal