Rabu 21 Sep 2016 16:00 WIB

Pajak Google Rp 5,5 Triliun

Red:

Foto : Reuters/Mike Blake  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

JAKARTA - Pemerintah sepertinya tidak main-main untuk mengejar perusahaan mesin pecari asal Amerika Serikat (AS), Google. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengestimasi total tunggakan pajak oleh Google di Indonesia pada 2015 lebih dari Rp 5 triliun.

Kepala Kantor Wilayah DKI Jakarta Khusus Ditjen Pajak, Muhammad Hanif, mengatakan, potensi tunggakan pajak Google tahun 2016, bila mereka tidak mau kooperatif dalam membayar pajak, bisa lebih besar dari tunggakan tahun lalu. Berkaca dari pertumbuhan pasar iklan melalui konten internet atau over the top (OTT) yang mencapai 20 hingga 30 persen per tahun.

"Nah, dari situ, misal keuntungannya 30 persen dari iklan, berarti sekitar Rp 2 triliun lah. Itu kalau dipajakin, jadinya Rp 500 miliar. Nah belum lagi ada potensi PPN, dikalikan 10 persen dari omzet tadi jadinya Rp 500 miliar juga. Artinya, pajak pertambahan nilai (PPN) ditambah pajak penghasilan (PPh) menjadi Rp 1 triliun," kata Hanif, Selasa (20/9).

Dia menjelaskan, hitungan pemerintah atas tunggakan pajak Google berasal dari estimasi pasar iklan untuk OTT internasional yang beroperasi di Indonesia. Potensi pasar iklan OTT di Indonesia tercatat sebesar 830 juta dolar AS, yakni dikuasai oleh OTT besar, Google dan Facebook.

Kedua OTT raksasa tersebut memegang 70 persen dari seluruh pasar iklan untuk OTT di Indonesia. Artinya, Google memiliki potensi atas 50 persen dari 830 juta dolar AS potensi perputaran uang dari periklanan di dunia maya, atau sekitar 400 juta dolar AS atau sekitar Rp 5,5 triliun.

Angka tersebut, bisa membesar drastis bila kasus ini jadi dipidanakan oleh pemerintah. Google bakal diganjar denda empat kali dari total pajak yang harus dibayarkan, sehingga total tunggakan yang harus disetor Google adalah Rp 5 triliun. Angka ini didapat dari Rp 1 triliun pajak plus Rp 4 triliun denda.

"Kita sudah masuk ranah pemeriksaan bukti permulaan. Jadi, kalau indikasi pidana, kita masuk ranah pemeriksaan bukti permulaan dahulu. Ini belum pidana nih, masih indikasi. Dia (Google) masih menolak, cuma kita harus cari tahu kenapa dia menolak," ujar Hanif.

Dilansir Reuters, mayoritas pendapatan Google Indonesia dipesan dari kantor pusat Google Asia Pasifik di Singapura. Google Asia Pasifik sendiri menolak untuk diaudit pada Juni. Karena itu, Hanif mengatakan, kasus ini menjadi salah satu kasus kriminal pajak.

Total pendapatan iklan industri penyedia layanan jasa internet ini diperkirakan mencapai 830 juta dolar AS per tahunnya. Perusahaan Google dan Facebook pun menyumbang 70 persen dari pendapatan tersebut.

Sedangkan, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Google dan investor Singapura Temasek yang dirilis pada awal tahun ini menyebutkan, pasar iklan digital di Indonesia dapat menghasilkan 300 juta dolar AS pada 2015.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong, mengatakan, kunci untuk menarik kewajiban perpajakan dari perusahaan Google adalah keseimbangan. Google Indonesia diketahui tidak mendaftarkan diri menjadi badan usaha tetap (BUT), sehingga menyulitkan pemerintah untuk menagih pajak kepada perusahaan tersebut.

"Kita tentunya harus menargetkan suatu hasil akhir yang fair (adil) jadi tidak terlalu gencar, tapi juga tidak terlalu soft (lunak)," kata Thomas di Kantor BKPM. 

Menurut Thomas, jika otoritas perpajakan mengambil langkah lunak akan tidak adil bagi pelaku domestik yang diwajibkan membayar pajak. Namun, tidak mungkin terlalu keras karena pemerintah juga menginginkan investasi dari semua perusahaan digital global seperti Google.

Dia mengatakan, kasus semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara lainnya. Misalnya, Apple yang terkena kasus pajak di Uni Eropa. "Ini memang tantangan global, semua negara lagi pusing bagaimana menata suatu rezim perpajakan untuk perusahaan-perusahaan digital," ujar pria yang akrab disapa Tom ini. rep: Idealisa Masyrafina, sapto Andika Candra ed: Citra Listya Rini

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement