JAKARTA -- Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat sebanyak enam perusahaan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) barang tambang. Investasi keenam perusahaan tersebut mencapai 2,25 miliar dolar AS.
"Dari enam perusahaan tersebut, tiga sudah lama beroperasi, sedangkan tiga lagi baru," ujar Kepala BKPM Mahendra Siregar dalam konferensi pers realisasi penanaman modal kuartal II 2014, Kamis (24/7). Dari enam perusahaan tersebut, dua memproses nikel, dua bijih besi, satu tembaga, dan satu bauksit.
Kemudian, sebanyak lima perusahaan masih dalam tahap konstruksi. "Nilai investasi lima perusahaan tersebut sebesar 7,87 miliar dolar AS," ujar Mahendra.
Kelima perusahaan ini adalah PT Borneo Alumindo Prima (PMA) di Kabupaten Ketapang (Kalbar) dengan investasi 4,5 miliar dolar AS. Smelter akan menghasilkan aluminium oksida 4,5 juta ton. PT Bintan Alumina Indonesia di Bintan (Riau) dengan investasi 100 juta dolar AS.
PT Well Harvest Winning Alumina Refinery di Kabupaten Ketapang (Kalbar) dengan investasi 968,4 juta dolar AS. Kemudian, perluasan pabrik PT Antam Tbk (Persero) di Kolaka, Sulawesi Tenggara, dengan investasi 522,7 juta dolar AS. Perusahaan akan menghasilkan ferronickel 500 ribu ton. Terakhir, PT Feni Haltim di Halmahera Timur, Maluku Utara, dan berinvestasi 1,78 miliar dolar AS.
BKPM, lanjut dia, tengah menunggu realisasi investasi smelter dari 50 perusahaan. Nilai investasi dari 50 perusahaan itu sebesar 31,3 miliar dolar AS.
Mahendra menjabarkan, sebanyak 21 perusahaan bersiap masuk tahap realisasi, sisanya 29 perusahaan ada di pipeline. BKPM menyetujui investasinya. "Kami tunggu realisasinya," ujarnya.
Pembangunan pabrik smelter tersebut mengacu pada penerapan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang memberikan dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. Tapi, ekonom menilai, pemerintah perlu melakukan beberapa kompromi.
Ekonom Standard Chartered Fauzi Ichsan mengatakan, UU tersebut berniat baik agar tercipta nilai tambah bagi industri pengolahan. Tapi, di sisi lain, ekspor minerba mengalami penurunan tiga miliar dolar AS hingga empat miliar dolar per tahun.
Penurunan ekspor ini, kata dia, memengaruhi penerimaan pajak dari harga komoditas global yang sedang melemah, termasuk minyak. "Jadi, perlu dipertimbangkan engage kebijakan tersebut," katanya kemarin.
Dari sisi bisnis, peraturan ini memaksa pengusaha tambang membangun smelter. Tapi, kewajiban ini belum didukung infrastruktur yang memadai. "Investor asing tidak memandang pembangunan smelter sebagi proyek yang ekonomis," ungkapnya.
Sementara, terkait sengketa pemerintah dengan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), ekonom Standard Chartered Fauzi Ichsan mengatakan, pemerintah harus berupaya keras jika berniat melayani gugatan arbitrase yang dilayangkan PT NNT. Jika NNT menang dalam arbitrase, bisa memicu investor lain untuk juga menggugat Indonesia.
Dia menyarankan pemerintah untuk melibatkan pakar hukum yang terbiasa menanagani arbitrase. Kalau tidak yakin menang, bisa dilakukan rekonsiliasi. "Perlu juga disadari kalau keputusan arbitrase tidak bisa cepat keluar," katanya.
Menko Perekonomian Chairul Tanjung mengatakan, Newmont sering membuat masalah. Pada 1998 perusahaan tambang asal AS itu pernah mengajukan gugatan arbitrase karena menolak melakukan divestasi. rep:satya festiani/meiliani fauziah ed: zaky al hamzah