JAKARTA -- Survei Penjualan Eceran yang dilakukan Bank Indonesia (BI) mengindikasikan tekanan harga akan menurun pada September 2014. Hal tersebut disebabkan konsumsi masyarakat pascabulan puasa dan Idul Fitri kembali normal.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, indikasi penurunan harga terlihat dari indeks ekspektasi harga pada September sebesar 138,3. Angka itu turun 11,8 poin dibandingkan Mei.
Hasil survei juga menunjukkan penjualan pada September diperkirakan menurun. Hal itu terlihat dari nilai saldo bersih terhadap ekspektasi penjualan pada September sebesar 133,8, menurun 3,5 poin dibandingkan 137,3 pada periode sebelumnya. "Penurunan penjualan didorong kembalinya konsumsi masyarakat pascabulan puasa dan Idul Fitri," ujar Tirta.
Pada bulan Juli lalu, penjualan eceran diperkirakan meningkat didorong meningkatnya belanja masyarakat ketika bulan puasa, menjelang Idul Fitri, dan adanya program diskon. Penjualan eceran pada Juli diperkirakan tumbuh 12,3 persen (yoy), meningkat dibandingkan 8,6 persen (yoy) pada bulan sebeumnya.
Ekspansi penjualan pada Juli terlihat pada kategori peralatan informasi dan komunikasi yang tumbuh 42,6 persen (yoy) dan kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang tumbuh 15,8 persen (yoy). Penjualan bahan bakar justru menurun menjadi 0,8 persen (yoy).
Dilihat secara bulanan, pendorong pertumbuhan adalah penjualan kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang tumbuh 19,3 persen mtm dan kelompok perlengkapan rumah tangga lainnya yang tumbuh 16,4 persen mtm.
Peningkatan penjualan secara tahunan hanya terjadi di Bandung, Semarang, dan Manado. Padahal, survei di sembilan kota, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Banjarmasin, Makasar, Manado, dan Denpasar.
Pertumbuhan penjualan tertinggi diperkirakan terjadi di Semarang yang tumbuh 34,5 persen (yoy), meningkat dibandingkan kontraksi sebesar 3,8 persen (yoy) pada bulan sebeumnya.
Secara bulanan, pertumbuhan penjualan eceran terjadi pada seluruh kota yang disurvei, terbesar di Jakarta sebesar 34,5 persen. Pertumbuhan didorong oleh meningkatnya permintaan selama bulan puasa, Idul Fitri, dan didukung kegiatan Jakarta Great Sale.
Sementara itu, kualitas premium dinilai tidak sesuai dengan harga jual. Pemerintah dan PT Pertamina (Persero) dianggap tidak transparan terkait harga dan kualitas Premium.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan, sejak 2005 hingga kini, kualitas Premium tidak ada peningkatan. ''Padahal, negara lain sudah banyak peningkatan,'' kata dia dalam diskusi 'Transparansi Kebijakan Harga BBM', Selasa (12/8).
Safrudin melansir harga sejak 3 September 2013, Ron 95 senilai 2,10 ringgit Malaysia, Ron 97 senilai 2,85 ringgi Malaysia per liter, dan solar 2 ringgit Malaysia per liter.
Menurut Safrudin, Ron 95 kalau dikurskan ke rupiah seharga Rp 7.000 per liter. Namun, di Indonesia harganya mencapai Rp 9.500. Rinciannya, Rp 6.500 dibayar rakyat dan Rp 2.000 dibayar oleh pemerintah untuk setiap liter.
Padahal, lanjut dia, Premium kualitasnya Ron 88. Akan tetapi, tarifnya terlalu tinggi. ''Harga internasional kualitas lokal,'' tegas dia. n red: satya festiani, aldian wahyu ramadhan ed: zaky al hamzah