JAKARTA — Para investor menunjukkan optimismenya terhadap pemerintahan mendatang yang akan ditukangi presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Kendati dibayangi rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM), para pelaku pasar optimistis pemerintah baru kelak bisa meredam gejolak nasional agar iklim investasi tetap kondusif.
Direktur Bursa Efek Indonesia (BEI) Frederica Widyasari Dewi mengatakan, tahun ini ekspektasi investor asing terbilang tinggi. Mereka menunjukkan optimisme terhadap perkembangan pasar modal Indonesia dengan memasukkan modalnya sejak tahun lalu.
Untuk saat ini, para investor masih mengamati perkembangan kondisi Indonesia. "Tapi, tak pernah terlambat bagi masyarakat Indonesia jika ingin masuk dan memperkuat pasar modal nasional saat ini," kata Frederica dalam seminar bertema "Peluang dan Prediksi Global Market Pascapemilu" di Jakarta, Rabu (3/9).
Frederica melanjutkan, kini komposisi kepemilikan saham di pasar modal masih timpang. Sebesar 64 persen saham masih dikuasai asing. Karena itu, BEI mengupayakan edukasi kontinu bagi investor domestik sehingga saat terjadi outflow, investasi ekonomi Indonesia bisa tetap baik.
Dari data yang dikumpulkan BEI, Franderica menerangkan, prospek Indonesia tidak hanya bagus hingga 2030, tapi hingga 2050. Bahkan, ekonom Rusia menyebut Indonesia bisa menjadi negara ekonomi terbaik keempat pada 2050. "Indonesia juga menunjukkan perkembangan positif di sisi hukum sehingga investor merasa lebih aman," ujar Frederica.
Dalam 10 tahun terakhir, pasar saham Indonesia juga masih masuk lima besar karena ekonomi yang tumbuh relatif stabil. Hingga 2014, indeks tumbuh 20 persen. Return saham Indonesia pun masih yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Saham di bidang keuangan, pangan, dan infrastruktur masih jadi yang paling menarik di bursa.
Komisaris Independen Permata Bank yang juga akademisi UGM Tony Prasentiantono mengatakan, defisit transaksi berjalan dan harga BBM menjadi dua masalah besar Indonesia saat ini. Namun, dunia internasional menunjukkan dukungannya terhadap Joko Widodo.
Menurut Tony, kenaikan harga BBM akan menjadi hal yang tidak terhindarkan. Sebab, pada 2010 pun sebesar 60 persen subsidi energi dinikmati golongan mampu.
"'Kalau Joko Widodo berani, November 2014 BBM bisa dinaikkan. Tapi, jika menunggu inflasi relatif rendah, kemungkinan pada Maret 2015 BBM baru akan naik," kata Tony.
Jika BBM tidak naik, Tony melanjutkan, ruang stimulus fiskal dari belanja pemerintah akan sangat sempit. Defisit APBN juga bisa mencapai tiga persen yang malah membuat pertumbuhan ekonomi stagnan. "Jangan sampai terjadi outflow investasi besar karena APBN Indonesia terus dianggap tidak kredibel," katanya.
Jika ekonomi lesu, Tony mengingatkan, hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah memperbanyak belanja APBN. Jika pertumbuhan ekonomi di atas lima persen atau bahkan sampai tujuh persen, hal ini akan membuat pengangguran bisa ditanggulangi.
Sosialisasi kenaikan BBM dengan baik juga diharapkan bisa meredam gejolak di masyarakat sehingga ekonomi domestik bisa baik. Pemerintahan nanti perlu menjelaskan konsumsi BBM Indonesia yang mencapai 1,8 juta barel per hari tidak sebanding dengan produksinya yang hanya 800 ribu barel per hari.
Tidak seperti Irak, Arab Saudi, dan Mesir, kata Tony, Indonesia tidak lagi bisa menopang subsidi dengan produksi minyak yang rendah. Selain itu, negara-negara kaya minyak pun bukan contoh baik karena pendapatan negara mereka tidak variatif dan menggantungkan pendapatan negara hanya pada minyak.
Tony melihat, kompensasi yang tergolong baik dari kenaikan BBM adalah pembangunan infrastruktur. Jika pemerintah bisa menghemat dana dari subsidi BBM yang mencapai Rp 350 triliun, akan ada banyak jalan yang bisa dibangun dan memudahkan kegiatan, termasuk ekonomi.
CEO dan Managing Partner Quvat Capital Thomas T Lembong mengatakan, tantangan investasi di Indonesia luar biasa. Tapi, Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah figur yang "laku" di pasar internasional.
rep:fuji pratiwi ed: eh ismail