JAKARTA — Rasio kredit bermasalah (non performing loans/NPL) melonjak di sektor konstruksi, pertambangan, perdagangan, dan jasa konstruksi. Lonjakan NPL tersebut dinilai terpengaruh perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) pada Juli 2014, NPL sektor konstruksi tercatat sebesar 4,43 persen atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 4,24 persen. Pada sektor pertambangan, NPL tercatat sebesar 3,09 persen dibandingkan bulan sebelumnya 2,49 persen. Adapun sektor perdagangan mencatat NPL 3,06 persen dari 2,92 persen dan jasa sosial sebesar 2,96 persen dari 2,48 persen pada bulan sebelumnya.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia, Tbk (BCA) David Sumual mengatakan, kenaikan NPL pada sektor-sektor tersebut telah diduga sebelumnya. Kenaikan NPL pada sektor konstruksi berasal dari kenaikan suku bunga dan aturan loan to value (LTV). LTV kredit rumah pertama dalam aturan tersebut sebesar 70 persen. Selain itu, KPR rumah kedua pun tidak boleh berstatus inden.
Kenaikan NPL pada sektor pertambangan disebabkan oleh melambatnya perekonomian Tiongkok. Ia melihat bahwa sejak dua tahun lalu ekspor komoditas melambat. "Itu karena pengaruh permintaan Cina yang melambat," ujar David dihubungi Republika, Ahad (14/9).
Kenaikan NPL di sektor pertambangan juga disebabkan oleh banyaknya proyek yang gagal atau tertunda di luar Pulau Jawa.
Menurutnya, kenaikan NPL tersebut mencapai puncaknya pada semester II 2014. Ia meyakini keadaan akan membaik pada semester I 2014. Syaratnya, ada perbaikan pada defisit transaksi berjalan. "Pemerintah harus segera melakukan reformasi struktural," ujarnya.
Perbankan dinilai harus lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit pada keempat sektor tersebut dan sektor lain yang terkait. Contohnya, kredit terhadap alat-alat berat. Perbankan juga harus membuat rencana tidak terduga (contingency) terkait kenaikan provisi.
Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, BI sedang memperhatikan apakah kenaikan NPL tersebut hanya sementara atau dapat meluas. "Nanti kita akan koordinasi dengan OJK untuk mengecek," kata Halim.
Ia mengatakan bahwa bank yang memiliki NPL tinggi diharapkan dapat melakukan langkah-langkah mitigasi, seperti mengurangi ekspansi di sektor tersebut. Langkah lainnya, yakni dengan restrukturasi untuk meningkatkan standar kredit.
Kenaikan NPL tersebut, menurutnya, terutama terjadi di BPD yang menyalurkan kredit konstruksi. BI masih mencermati apakah kenaikan tersebut terkait dengan proyek tertentu. "Misalnya, proyek yang dikerjakan swasta. Masih diteliti," ujarnya. Sedangkan, untuk sektor pertambangan, Halim mengatakan bahwa NPL banyak terjadi di luar Pulau Jawa.
Selain rasio NPL, BI juga mengembangkan indikator yang didasarkan pada data historis untuk melihat potensi perpindahan kualitas kredit yang tergolong lancar menjadi kurang lancar ataupun macet. Berdasarkan indikator tersebut dan perkembangan terkini, terdapat tiga sektor yang perlu diperhatikan, yakni sektor konstruksi, pertambangan, dan perdagangan. Adapun NPL perbankan secara keseluruhan masih dalam batas aman, yaitu berada pada level 2,24 persen, jauh di bawah batas aman lima persen.
PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BRI) mengakui bahwa NPL pada keempat sektor tersebut naik. "BRI akan tambah provisi sebagai bantalan," kata Direktur Keuangan BRI Achmad Baiquni. rep:satya festiani Ed: nur aini