Polemik terkait perlu tidaknya Indonesia mempunyai pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terus bergulir. Entah sampai kapan wacana ini akan berujung jadi diskusi di tataran publik. Namun, yang pasti, Dewan Energi Nasional (DEN), pengamat energi, maupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai keberadaan PLTN belum diperlukan.
Anggota DEN Rinaldy Dalimi menilai, hingga saat ini belum ada alasan bagi pemerintah untuk segera memutuskan pembangunan PLTN. Jika pun jadi membangun, dari segi bahan baku, Indonesia akan mengalami kesulitan lantaran ketiadaan uranium. Selain itu, lanjutnya, dari segi lokasi pun Indonesia tidak memiliki tempat yang sepenuhnya aman dari potensi bencana seperti kegempaan. "Tidak ada alasan lagi PLTN dibangun di Indonesia," kata Rinaldy di Jakarta, Ahad (10/1).
Menurut Rinaldy, pembangunan PLTN juga bakal membutuhkan biaya investasi yang tidak sedikit. Diperkirakan nilainya empat hingga lima kali lebih besar dari pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Tak hanya itu, ia menyebut hasil studi oleh DEN menunjukkan harga listrik dari nuklir bisa mencapai 12 sen dolar AS per kWh. Artinya, pemerintah masih harus memberikan subsidi listrik dengan angka sebesar itu.
Lebih lanjut, Rinaldy juga mengatakan, pembangunan PLTN dengan standar keamanan skala internasional teramat mahal. Apalagi, pascainsiden di PLTN Fukushima, Jepang, yang telah membuat Negeri Sakura menurunkan penggunaan nuklir untuk energi pada 2030. "Sebenarnya pemerintah pun tidak ngotot. Pemerintah kan ikut menempatkan nuklir di pilihan terakhir. Pejabat kita nyatakan bahwa PLTN belum (akan dibangun)," ujar Rinaldy.
Pengamat energi, Fabby Tumiwa, juga menilai energi nuklir masih terlampau mahal untuk diterapkan di Indonesia. Belum lagi, PLTN masih menyimpan potensi bahaya dan risiko. Fabby lebih mendukung pemanfaatan sumber energi lain seperti energi baru terbarukan (nonnuklir) dibanding pemanfaatan energi nuklir.
"Kalau memang menjanjikan, harusnya berkembang dong di dunia. Tapi, saat ini pengguna PLTN sudah berkurang jauh karena mulai 20 tahun terakhir masih sedikit sekali. Fakta angkanya tidak bertambah," katanya. Fabby juga menyebutkan, saat ini terjadi pengurangan minat pemanfaatan nuklir di dunia.
Fabby mengambil contoh salah satu negara Eropa, yaitu Prancis. Negara ini melalui kebijakan energi yang diterbitkan 2014 telah memutuskan pengurangan pemanfaatan listrik dari PLTN dari 80 persen menjadi 50 persen. Tak hanya itu, Jepang juga memutuskan pengurangan bauran energi nuklir pada 2030 berkurang dari 30 persen menjadi 20 persen saja.
"Negara ini yang sebelumnya menguasai teknologi justru merasa tidak aman dan murah. Justru makanya saya bilang persepsi ini tidak akan mudah," kata Fabby yang juga menjabat sebagai eksekutif Institute for Essential Service Reform ini.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Maritje Hutapea mengatakan, hingga saat ini pemerintah belum membuat peta jalan bagi pembangunan PLTN. Dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), lanjut Maritje, energi nuklir disebutkan sebagai alternatif terakhir di antara jenis EBT lainnya, termasuk energi bayu, air, surya, dan panas bumi. Maritje menyebutkan, hambatan untuk membangun PLTN lebih kepada porsi yang secara jelas diberikan kepada energi nuklir.
"Kalau presiden sudah mengeluarkan fatwa tentang PLTN, saya kira akan lebih pasti. Di RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) sekarang lebih mengarah ke EBT minus nuklir," jelas Maritje. ed: muhammad iqbal