Sabtu 01 Aug 2015 19:31 WIB

Di Tolikara, Toleransi Pun Diuji

Red: operator

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kasus bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Tolikara, Papua, menguji toleransi di bumi Cendrawasih. Penyerangan terhadap jamaah shalat Idul Fitri yang dilanjutkan dengan pembakaran masjid dan kios-kios para pendatang patut disesalkan. Tak hanya itu, surat edaran pelarangan penggunaan jilbab dan penggunaan pengeras suara di masjid turut menjadi provokasi kerukunan umat beragama.

Banyak isu beredar bahwa kerusuhan tersebut disebabkan oleh kesenjangan antara pendatang dan warga asli. Padahal, sudah lebih dari 50 tahun warga Papua berinteraksi dengan suku luar, termasuk Jawa.

Kedatangan Islam pertama kali ke bumi Papua pun tak lepas dengan permintaan para kepala suku yang datang ke Jakarta pada sekitar tahun 1960-an. Tesis seorang sarjana dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)Alfalah, Jayapura, Ade Yamin, menyebutkan, para kepala suku mendatangi Istana untuk menemui Presiden Sukarno. Kepada sang proklamator, mereka mengatakan jika peradaban di Papua masih tertinggal. Banyak orang asli memakan manusia usai perang suku. Mereka pun meminta Presiden untuk mengirim warga ke Wamena, Papua.

Bung Karno setuju. Presiden pertama itu lantas mengirim satu rombongan dari Jawa Tengah yang berjumlah 50 orang. Umumnya mereka Muslim. Mereka memiliki keahlian di berbagai bidang, dari pertanian, perkebunan, hingga pendidikan. Hanya, saat pemberangkatan, jumlah mereka menyusut hingga 35 orang. Lima belas lainnya mundur setelah diceritakan masih banyak kanibal di Papua.

Ade Yamin menulis, Muslim pertama kali masuk ke Wamena, Jayawijaya, pada rentang 1962-1968. Salah satu daerah yang dimasuki, yakni Distrik (kecamatan) Assolopogal. Salah satu desa di distrik tersebut bernama Megapura. Di sana, para pendatang pun membuat surau-surau kecil untuk melaksanakan shalat lima waktu. Aktivitas umat Islam kemudian mengundang minat warga asli. Tak terkecuali para kepala suku.

Kedatangan para misionaris pada akhir abad ke-18 memang mendahului para mubaligh. Para misionaris sudah terlebih dahulu membuka hutan-hutan Papua. Mereka datang dengan segenap fasilitas obat-obatan hingga pesawat.

Meski demikian, amat jarang terjadi konflik antara umat Kristen dan Islam. Tokoh Muslim Wamena, Agus Sudarmaji, mengungkapkan, kerukunan beragama antarkedua umat bukan isapan jempol. Contohnya saja, ada kesepakatan di Wamena bahwa masjid- masjid Wamena tak menggunakan pengeras suara untuk azan pada saat gereja melakukan kebaktian.

Adanya insiden Tolikara diharapkan tak membuat solidaritas antarumat menjadi retak. Terlebih, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua sudah memutuskan untuk menempuh cara adat untuk menyelesaikan konflik Tolikara. Ketua FKUB Provinsi Papua Lipiyus Biniluk menyatakan insiden pada Hari Raya Idul Fitri di Karubaga, Kabupaten Tolikara, bukanlah konflik agama, melainkan miskomunikasi di antara umat Islam dan Kristen.

Dia pun menyatakan rasa duka atas jatuhnya korban baik jiwa maupun materiil dalam insiden Tolikara tersebut. "Berkaitan dengan insiden Karubaga di Kabupaten Tolikara yang terjadi pada (17/7), umat GIDI dan Muslim di Tolikara telah sepakat untuk menyelesaikan masalah tersebut secara bersama-sama, secara adat," katanya.

Lipiyus menjelaskan, kedua belah pihak juga sepakat bahwa masalah ini akan diselesaikan sendiri oleh kedua belah pihak di Papua tanpa campur tangan pihak luar Papua.

Tokoh agama Islam di Kabupaten Tolikara, Ustaz Ali Muchtar, sepakat agar masalah di Tolikara diselesaikan secara adat. "Kami mewakili umat Muslim dan selaku tokoh agama Islam yang ada di Tolikara menyampaikan bahwa insiden yang terjadi di Tolikara diselesaikan secara damai dan kami setuju bahwa insiden tersebut bukan masalah SARA atau agama," ujarnya.

Ia pun meminta kepada seluruh umat Muslim yang ada di seluruh Indonesia agar tidak memperpanjang persoalan. Menurutnya, umat Islam harus menjauhkan diri dari aksi anarkisme yang bisa memperpanjang masalah dan akan membahayakan Muslim di Tolikara. "Kami mohon kepada saudara- saudaraku umat Islam di seluruh nusantara, jangan sampai ada terjadi aksi balas dendam karena kami siap menyelesaikan insiden Tolikara secara damai melalui cara adat," ucapnya. ed: A syalaby Ichsan

Terima Kasih GIDI

Deky Susilo

Terima kasih GIDI karena dengan kejadian ini akhirnya umat Islam tahu bagaimana tidak adilnya pemerintahan ini terhadap umat Islam. Di mana, kalau kejadian ini dilakukan oleh umat Islam, pasti sudah diberantas oleh Densus 88 sampai ke akar-akarnya, tetapi kalau engkau GIDI mendapat undangan resmi dari istana.

Terima kasih GIDI karena kejadian SARA apa pun pasti umat Islam tetap di jadikan kambing hitam dan dicari- cari alasan bahwa yang salah itu ternyata umat Islam. Dan, ternyata pemimpin negeri ini takut sama Israel dan misionaris asing.

Oleh karena itu, kami umat Islam tidak banyak berharap kepada para pemimpin negara ini kalau kasus ini bisa diproses hukum dengan seadil-adilnya dan dapat diungkap siapa dalang dan aktor intelektualnya di balik pembakaran masjid dan penghinaan atas hari raya umat Islam.

Mari Berdonasi

Jamil, Sawangan, Bogor

Terpenting mari berdonasi, jadikan papua lahan dakwah kita, bangun kios, rumah, dan masjid seperti kaum Nasrani yang dengan cepat membangun gereja dengan adanya donasi yang sangat besar baik dari dalam maupun luar negeri.

Bertentangan dengan Nilai Kristen

Yoppy Soleman, Poso

Karena hanya sebagian kecil dari lebih satu miliar penganut Kristen di dunia ini maka orang- orang tidak seharusnya menggeneralisasi tuduhan. Tetapi, memang benar bahwa tindakan pelarangan GIDI kepada umat Islam (surat edaran) untuk tidak melaksanakan shalat Id pada 17 Juli 2015 adalah tindakan yang salah sebab bertentangan dengan hak asasi manusia dan juga bertentangan dengan nilai-nilai fundamental kekristenan.

Tindakan dari beberapa orang yang memicu kekerasan di Tolikara ini bertentangan dengan kekristenan. Itu adalah emosi manusia semata, bukan nilai-nilai Kristen. Apabila suara speaker mushala terlalu keras sehingga mengganggu kegiatan umat lain di sana, hal itu seharusnya dikomunikasikan secara baik- baik.

Pemerintah Harus Tegas dan Adil

Sudhi Adriakusumah

Sebaiknya, pemerintah harus segera bertindak tegas dan adil terhadap teror yang keji pembakaran masjid di Papua agar tak menjalar kemana-mana. Semoga aparat kita segera dapat mengusut pelak-pelakunya sampai ke dalang-dalangnya. Mari kita bangun kembali masjid kita di Tolikara, Papua, bangunlah yang megah. Tunjukan bahwa Islam itu besar, cinta damai, dan rahmatan lil `alamiin.

Semoga saudara-saudara kita di sana diberikan kesabaran & ketawakalan atas ujian ini dan di masa yang akan datang bisa selalu rukun dan saling menghargai, ya Allah! Bimbinglah kami ke jalan  yang lurus yang diridhai-Mu serta lindungilah kani dari kemurkaan setan jin dan setan manusia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement