REPUBLIKA.CO.ID,The Little Prince: Keajaiban Dunia Imajinasi
Novel ini dianggap sebagai karya agung sastra dunia.
Novel klasik itu adalah buah karya Antoine de Saint-Exupéry berjudul Le Petit Prince. Karya itulah yang kini hadir dalam bentuk animasi layar lebar. Maka, ketika sebuah novel klasik yang dibuat pada tahun 1943 diangkat ke layar lebar pada era milenium saat ini, tak pelak ada perubahan signifikan di sana-sini.
Di tangan sutradara Mark Osborne, kisah si pangeran cilik itu diangkat menjadi sajian animasi yang penuh imajinasi. Film The Little Prince mengangkat cerita tentang seorang anak gadis (diisi suara Mackenzie Foy) yang menjalani masa kecil yang membosankan lantaran dipaksa untuk terus-menerus belajar oleh ibunya.
Namun, kehidupan gadis itu segera berubah setelah berkenalan dengan tetangganya, The Aviator (Jeff Bridges), seorang lelaki lanjut usia yang semasa mudanya dulu pernah bekerja sebagai penerbang alias pilot. Dari The Aviator, sang gadis belajar banyak tentang keajaiban imajinasi dan dunia fantasi. Dari lelaki renta itu pula ia mendengar kisah menarik tentang The Little Prince (Riley Osborne), pangeran cilik yang memiliki rambut berwarna emas. Akan tetapi, ibu dari gadis mungil itu (Rachel McAdams) merasa tidak senang melihat anaknya bergaul dengan si kakek.
Sampai pada suatu waktu, gadis itu akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan sendiri ke dunia imajinasinya menggunakan pesawat terbang bekas milik The Aviator. Sesampainya di dunia fantasi tersebut, gadis kecil itu berjumpa dengan pangeran yang diceritakan oleh si kakek. Dari situlah petualangan yang menegangkan dimulai.
Perubahan signifikan
Novel Le Petit Prince termasuk buku yang paling banyak diterjemahkan di dunia. Bahkan, buku itu dikatakan pernah disadur ke dalam 230 bahasa asing. Sebagian kalangan menilai Le Petit Prince sebagai salah satu karya agung sastra dunia yang tak terlupakan.
Di Indonesia sendiri, buku itu telah diterjemahkan beberapa kali. Versi awalnya diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Jaya pada 1979 silam. Namun, sejak 2011, terjemahan versi barunya mulai dicetak kembali oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Ketika tampil di layar lebar, film The Little Prince sendiri mengalami beberapa perombakan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan kisah aslinya yang terdapat dalam novel Le Petit Prince karya Saint-Exupéry.
Perombakan itu mencakup mulai dari segi alur cerita, penokohan, hingga penutup cerita yang merupakan salah satu bagian terpenting dari sebuah film. Dalam buku karangannya, Saint-Exupéry mengawali cerita Le Petit Prince dengan menggambarkan pengalaman The Aviator yang terjebak di tengah-tengah Gurun Sahara lantaran mesin pesawatnya yang rusak. Selanjutnya, barulah sang penulis mengisahkan pertemuan pertama The Aviator dengan Pangeran Cilik.
Sementara, dalam film The Little Prince garapan Mark Osborne, pembukaan cerita tersebut diganti dengan menampilkan sosok gadis mungil yang kehilangan kebahagiaan masa kecilnya karena terus dipaksa belajar oleh ibunya. Kisah tentang si pangeran cilik justru baru dimulai ketika gadis itu berjumpa dengan The Aviator.
Tidak hanya perombakan alur cerita, dari segi penokohannya pun, film The Little Prince juga mengalami pergeseran dari versi novelnya. Jika yang menjadi tokoh utama dalam buku Le Petit Prince adalah The Aviator, di versi layar lebarnya peran tersebut diambil alih oleh si gadis kecil. Perbedaan lainnya juga dapat ditemukan dari cara penyajian cerita yang terdapat dalam novel dan film. Dalam buku Le Petit Prince, Saint-Exupéry secara konsisten menggunakan sudut pandang naratif orang pertama. Sementara, para penggarap The Little Prince menonjolkan sudut pandang naratif orang ketiga.
Namun, perbedaan yang paling terasa adalah pada bagian akhir cerita. Dalam novelnya, Saint-Exupéry menutup kisah Le Petit Prince dengan nuansa suram dan mengharukan, yaitu tentang perpisahan The Aviator dengan Pangeran Cilik. Perpisahan tersebut ditandai dengan menghilangnya Pangeran Cilik setelah kakinya digigit ular berbisa. Sementara, para penggarap film The Little Prince tampaknya lebih senang membuat akhir cerita yang bahagia.
Sekilas, Le Petit Prince tampak seperti cerita anak-anak. Meski demikian, kisah dongeng itu sebenarnya lebih layak untuk dinikmati dan direnungkan oleh kalangan orang dewasa. Lewat kepiawaiannya menyajikan kisah Le Petit Prince, Antoine de Saint-Exupéry mencoba menyinggung beberapa nilai dan pengalaman manusia yang paling dasar, seperti kekuasaan, tanggung jawab, dan cinta.
Sementara, para penggarap film The Little Prince berusaha mengingatkan orang tua agar menghargai hak anak-anak untuk mengembangkan daya imajinasi mereka, tidak hanya menuntut mereka untuk belajar terus-menerus.N ed: endah hapsari