REPUBLIKA.CO.ID, Ngenest, Komedi Satir Keturunan Cina
Ide cerita yang diangkat dari pengalaman hidup memang sangat lucu jika ditertawakan.
Ernest (Kevin Anggara/Ernest Prakasa) tidak pernah meminta dilahirkan menjadi seorang keturunan Cina di negeri Indonesia. Namun, lantaran takdirnya itulah, dia harus menderita karena menjadi bahan risakan (bullying) sebagai makanan sehari-harinya.
Tumbuh besar pada masa Orde Baru membuat Ernest harus menerima banyaknya diskriminasi, bahkan sejak ia duduk di bangku SD. Teman sekelas Ernest sering kali mengerjai karena ia terlihat sebagai orang yang berbeda, sebagai seorang keturunan Cina. Mata sipitnya seakan memancing teman-temannya untuk sering menindasnya.
Meski Ernest harus menerima risakan setiap hari, ia tidak sendiri. Patrick (Brandon Salim/Morgan Oey) menjadi sahabat Ernest yang selalu menolongnya ketika dikerjai oleh teman-teman sekelasnya. Ernest boleh dibilang beruntung karena ada teman-temannya sesama keturunan Cina, yang turut menanggung derita yang sama di kelasnya itu.
Bedanya, Patrick yang juga keturunan Cina mempunyai sifat yang jauh lebih berani dan kreatif dibandingkan Ernest. Di tengah persahabatan keduanya, mereka sama-sama sering menerima diskriminasi selama mereka bersekolah di tempat yang sama, bahkan hingga keduanya duduk di bangku SMP.
Saat SMP, Ernest mulai berani membaur dengan teman-teman pribuminya agar tidak mengalami diskriminasi. Sayangnya usaha Ernest sia-sia. Hidupnya pun malah semakin tersiksa dan lagi-lagi selalu butuh pertolongan Patrick.
Tak patah semangat, Ernest pun mencari cara bagaimana ia bisa lepas dari diskriminasi. Memasuki usia remaja hingga ia duduk di bangku kuliah ternyata Ernest memutuskan nantinya ingin menikah dengan orang pribumi. Didukung oleh Patrick, Ernest kian optimistis rencananya bisa terwujud.
Kuliah di Bandung mempertemukan Ernest dengan Meira (Lala Karmela). Meskipun banyak tantangan dari ayah Meira (Budi Dalton), Ernest pun bisa resmi pacaran dengan Meira. Hubungan berjalan baik dan mereka pun menikah setelah lima tahun berpacaran. Di sinilah konflik utama dimulai. Ernest pun menunda kehamilan Meira karena ia khawatir apakah anaknya nanti akan tetap bermata sipit atau tidak.
Fenomena sosial
Bertindak sebagai sutradara dan penulis skenario dalam film Ngenest, Ernest benar-benar menyajikan fenomena sosial yang memang terjadi dalam masyarakat. Meskipun dalam kemasan komedi, ide cerita yang berusaha diungkapkan oleh Ernest sama sekali bukan hal yang lucu. Ernest berusaha menyampaikan kepada masyarakat, merisak terkait ras atau apa pun bukan hal yang baik.
Meskipun pesan yang disampaikan suatu hal yang serius, jiwa Ernest sebagai stand up comedian berhasil menghadirkan dialog-dialog lucu dalam skenario yang ia tulis. Dialog jenaka itulah yang berhasil mengemas cerita inspiratif yang diadaptasi dari tiga seri novel Ernest bertajuk Ngenest tersebut menjadi drama komedi yang bisa mengocok perut penontonnya.
Seperti ketika ia berbicara dengan Meira untuk pertama kalinya di telepon. "Gue mendingan dihina daripada dilupain," kata Ernest. Kalimat tersebut bisa jadi romantis, tapi terkesan lucu dan berhasil membuat penonton tertawa.
Sebagai sutradara, Ernest benar-benar mengawal cerita film tersebut menjadi gayanya sendiri. Ide cerita yang diangkat dari pengalaman hidupnya itu memang sangat lucu jika ditertawakan ketika Ernest kini sudah dewasa. Itulah yang membuatnya memberikan tagline filmnya dengan "Kadang Hidup Perlu Ditertawakan".
Selain dari segi cerita yang memang menarik, Ernest berhasil menemukan pemain yang cocok untuk memerankan tokoh dalam film tersebut. Cerita film yang mengisahkan sosok Ernest saat anak-anak, remaja, hingga dewasa membutuhkan penjiwaan yang tepat oleh para pemerannnya. Tampaknya, penjiwaan dari para pemeran Ernest kecil, remaja, hingga dewasa mampu menghayati perannya itu. Ini terjadi pula pada tokoh Patrick dan karakter lainnya.
Sentuhan drama pun terasa kuat ketika kehidupan Ernest diulik. Drama perdebatan Meira dan Ernest yang menginginkan seorang anak cukup menguras emosi dan menjadi konflik utama yang menyentuh.
Nuansa komedi pun kian terasa dengan kehadiran stand up comedian lainnya yang kerap tampil bersama Ernest. Peran Ge Pamungkas (Willy), Fico Fachriza (Bowo remaja), Lolox Ahmad (Bos Ernest), Adjis Doaibu (Abdul), hingga Awwe (Jaya) sanggup membuat skenario yang dibuat Ernest semakin hidup dan humoris.
Suguhan menarik pada akhir film juga menambah poin plus dalam film Ngenest ini. Setelah film selesai, ada dokumentasi lucu saat sela-sela proses syuting film tersebut. Dengan gaya kocak, Ernest memperkenalkan semua pemainnya dan memperlihatkan sisi sebenarnya para aktor dan aktris yang terlibat. N c32 ed: endah hapsari
Pengalaman Pertama Ernest
Buat kamu, khususnya para penikmat stand-up comedy Indonesia, boleh jadi tidak asing lagi dengan Ernest Prakasa. Ya, dia adalah komika alias pelawak tunggal berdarah Tionghoa yang dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi populer lantaran kerap menjadikan kehidupan etniknya sebagai materi banyolannya.
Di tengah keasyikannya menggeluti karier pelawak tunggal, Ernest juga dikenal sebagai penulis yang kreatif. Karya triloginya, yakni Ngenest – Ngetawain Hidup ala Ernest, termasuk buku yang laris manis di pasaran. Ketiga buku itu berisi cerita tentang pengalaman pribadi Ernest semasa kecil hingga dewasa yang dikemas dalam bentuk genre komedi nonfiksi dan menggunakan gaya bahasa yang gaul.
Selain melawak dan menulis buku, Ernest juga merintis karier di dunia akting sejak dua tahun lalu. Ada beberapa film yang ia bintangi sampai saat ini. Sebut saja Make Money (2013), Comic 8 (2014), Kukejar Cinta ke Negeri Cina (2014), CJR The Movie (2015), dan Comic 8: Casino Kings (2015). Kini, komika kelahiran 29 Januari 1982 itu baru saja merampungkan film teranyarnya berjudul Ngenest: Kadang Hidup Perlu Ditertawakan.
Film yang ia garap bersama rumah produksi Starvision itu diadaptasi dari kisah-kisah lucu yang tertuang dalam buku trilogi yang laris itu. Tak tanggung-tanggung, dalam proses penggarapan film tersebut, Ernest memainkan tiga peran sekaligus, yaitu sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor. Pengalaman baru itu benar-benar menjadi tantangan besar bagi Ernest selama menekuni dunia hiburan.
"Sebagai komika, saya sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendirian, mulai dari menyiapkan materi lawakan hingga mementaskannya di hadapan penonton. Tapi saat menggarap film ini, saya dituntut untuk bisa bekerja sama dalam tim," tutur Ernest, saat dijumpai di Jakarta belum lama ini. Sebagai penulis, Ernest memaklumi fenomena buku best-seller yang diangkat ke layar lebar.
Ia juga menganggap wajar bila rumah-rumah produksi merasa lebih tertarik untuk memfilmkan sesuatu yang memang sudah populer dan memiliki basis massa, dibandingkan sebuah skenario baru yang benar-benar dibuat dari nol. "Oleh karena itu, ketika beberapa production house mencoba menjajaki adaptasi buku saya ke layar lebar, saya menanggapinya dengan tangan terbuka," ujarnya. Ernest mengungkapkan, Starvision bukanlah rumah produksi pertama yang menghubunginya terkait rencana untuk memfilmkan buku Ngenest.
Namun, ada sesuatu yang berbeda yang ia rasakan saat pertama kali menjalin komunikasi dengan pemilik Starvision, Chand Parwez Servia. Menurut Ernest, Parwez memperlakukan karyanya dengan begitu hormat dan apresiatif, bukan semata sebagai sebuah komoditas yang potensial untuk dijadikan bisnis. Ia pun lantas menemukan kecocokan dengan bos Starvision itu. Dari situlah, mereka mulai membicarakan kemungkinan adaptasi buku Ngenest ke layar lebar.
Awalnya, kata Ernest, ia hanya kebagian pekerjaan sebagai penulis skenario dan pemain di film itu. Namun, Parwez ternyata kemudian juga memintanya untuk menjadi sutradara. "Alasan Pak Parwez, buku Ngenest ini kan berisi cerita tentang saya, sehingga dia pun menilai sayalah yang paling mengerti cerita ini mau dibawa ke mana dan seperti apa esensinya," ungkapnya. Ernest mengaku cukup memahami alasan yang disampaikan Parwez ketika itu.
Akan tetapi, ia sempat menolak tawaran pimpinan Starvision itu dengan alasan bahwa satu-satunya pengalaman yang ia miliki di dunia industri perfilman selama ini hanya sebagai aktor. Bagi Ernest, tugas sutradara amatlah berat. "Saya merasa tidak layak untuk duduk di kursi sutradara, karena benar-benar tidak mempunyai pengalaman sedikit pun di bidang tersebut sebelumnya. Tapi, Pak Parwez terus meyakinkan bahwa saya bisa melakukannya," ucapnya.
Ernest pun memberanikan diri menerima tantangan tersebut. Dalam pikirannya, mungkin saja pengalaman itu bakal menjadi pelajaran bagi dirinya untuk memasuki dunia yang baru. Maka, mulailah proyek film Ngenest, sebuah drama komedi yang isi ceritanya dikembangkan Ernest bersama sang istri, Meira Anastasia. Proses penulisan skenario film itu dijalaninya selama kurang lebih empat bulan, dari awal Juni hingga akhir September 2015.
"Karena ini diangkat dari buku, tantangan terberat dalam menulis skenario memang bukan mencari bahan mentah. Tapi, bagaimana merangkai fragmen-fragmen cerita yang ada menjadi sebuah runutan cerita yang utuh dan memiliki dramaturgi yang baik," ujar Ernest. Ernest membeberkan, film Negenest mengisahkan tentang seorang pria keturunan Cina yang memiliki keinginan kuat untuk berbaur dengan masyarakat pribumi.
"Jujur, sebagai penulis skenario sekaligus sutradara, harapan saya hanya satu, yaitu semoga penonton mendapatkan pengalaman yang menyenangkan karena disuguhi sebuah kisah yang ditulis dan dieksekusi secara apik, menghibur, mengharukan, dan mencerahkan," tutur Ernest. Pengalaman yang diperoleh Ernest saat menggarap film Ngenest seakan menyusul kesuksesan salah satu rekannya yang juga aktif di stand-up comedy, Raditya Dika.
Sebelumnya, Raditya Dika sudah lebih dulu menjajal karier sebagai penulis skenario dan sutradara di beberapa film yang diadaptasi dari buku-buku karangannya sendiri. Sebut saja Cinta Brontosaurus (2013), Manusia Setengah Salmon (2013), dan Marmut Merah Jambu (2014). "Saya banyak sharing sama Raditya Dika, karena dia sudah lebih dulu menulis buku dan menggarap film. Untungnya Dika itu enggak pelit ilmu dan selalu mau berbagi dengan senang hati.'' ed: endah hapsari