Sejak lama, para duyung hidup dengan damai di dasar samudra. Sayangnya, ulah konglomerat kaya, Liu Xuan (Deng Chao), mengacaukan itu semua. Liu Xuan telah membeli wilayah suaka margasatwa Green Gulf alias Teluk Hijau untuk proyek reklamasi laut. Dengan semena-mena, taipan itu menggunakan teknologi sonar untuk menghancurkan ekosistem laut secara terselubung.
Padahal, kawasan Teluk Hijau adalah rumah dari banyak spesies makhluk hidup, termasuk para duyung. Sonar-sonar Xuan telah menyebabkan banyak spesies sakit dan mati, sementara sisanya menyelamatkan diri dan tinggal sementara di sebuah kapal karam di tepi teluk.
Geram atas ulah Xuan, para duyung mengirim si cantik Shan (Lin Yun) untuk membunuh Xuan. Shan sudah berlatih agar tampak seperti manusia dan disamarkan sebagai penari dalam pesta Xuan. Tak disangka, keduanya malah saling jatuh cinta. Ujung-ujungnya, Xuan juga mengetahui bahwa sesungguhnya Shan adalah putri duyung.
Otomatis, semua rencana yang disusun sempurna malah tak berjalan sama sekali. Para duyung merasa marah dan kecewa kepada Shan, terutama si Octopus (Show Luo) yang mengomandani pasukan untuk membunuh Xuan. Sementara, Xuan yang semula ketakutan melihat wujud asli Shan, lambat laun bisa berpikir jernih. Ia menyadari betapa keji perbuatannya membunuhi duyung dan makhluk lain di lautan.
Karena cinta terhadap Shan dan nurani yang mengusiknya, cowok flamboyan itu akhirnya memutuskan mematikan sonar. Sayang, keberadaan para makhluk duyung sudah telanjur diketahui rekan bisnis Xuan, Ruolan (Zhang Yuqi), yang malah mau memburu mereka. Tanpa mengindahkan Xuan yang mati-matian mencegah, Ruolan menyiapkan pasukan bersenjata berkekuatan penuh untuk memburu para makhluk duyung. Akankah Xuan berhasil menyelamatkan Shan dan menolong para duyung untuk hidup damai seperti sediakala?
Dari dongeng
Alam sudah rusak parah akibat ulah tangan manusia. Bahkan, makhluk hidup lain yang tidak berdosa menjadi korbannya. Pesan utama itu yang ingin disampaikan raja komedi Hong Kong, Stephen Chow, lewat film besutan terbarunya, The Mermaid. Sinema bergenre komedi, fantasi, dan fiksi ilmiah itu dengan cerdas menyentil lewat racikan legenda dan komedi.
Dalam cerita ini, tokoh utama adalah perempuan cantik bersirip ikan. Namun, jangan berpikir film berdurasi 94 menit ini akan membuat kening kita berkernyit dalam. Sebaliknya, kekonyolan sudah disajikan sejak awal film, lewat adegan absurd kehadiran putri duyung abal-abal di sebuah museum bobrok. Banyak juga cameo yang hanya muncul sekali, tetapi tingkahnya kocak dan dapat membuat tergelak tanpa henti.
Chow mengakui, ide awal cerita itu memang berasal dari dongeng The Little Mermaid karya Hans Christian Andersen. Dalam kisah yang sudah difilmkan oleh Disney itu, Ariel, sang putri duyung, dikisahkan jatuh cinta pada seorang manusia.
Sama halnya dengan kisah di cerita The Mermaid, Shan juga jatuh cinta kepada Xuan yang tadinya ia musuhi karena sikap kejamnya. Bedanya, cerita duyung ala Stephen Chow justru kental dengan muatan komedi.
Misalnya saja, dialog dua tokoh utama, Shan dan Xuan, yang mengocok perut. Keduanya ditampilkan sangat berkarakter dengan kisah Shan yang polos menyadarkan Xuan yang cenderung berorientasi materi.
Salah satu adegan lucu muncul saat dua tokoh itu makan berekor-ekor ayam panggang di kedai taman bermain, tempat Shan bekerja paruh waktu. Mereka seakan menemukan kecocokan satu sama lain saat berduet menyanyikan lagu tema film laga lawas Legend of Condor Heroes.
Kejenakaan itu tentu tak lepas dari campur tangan Stephen Chow. Meski tak memerankan karakter apa pun, Chow menduplikasi kelucuan dirinya pada para tokoh. Ia bisa menciptakan kondisi sedemikian rupa hingga aktris pendatang baru, Lin Yun, yang berperan sebagai sang putri duyung, bisa beradu peran secara natural dengan para selebritas kawakan, seperti Deng Chao, Show Luo, dan Zhang Yuqi. Chow membuktikan dirinya tak main-main dengan menjadi sutradara, produser, penulis naskah, hingga pencipta lagu tema sekaligus.
Bukan sekadar komedi, film proyek bersama itu dengan jitu menyisipkan pesan untuk menjaga dan melestarikan alam. Dengan gamblang, mereka menggambarkan betapa biadabnya kekejaman manusia terhadap makhluk lain di muka bumi.
Chow beberapa kali memutar dokumentasi mengenai pembantaian massal lumba-lumba di sela adegan film untuk menggugah pemirsa. Adegan presentasi bisnis yang mempertontonkan teknologi sonar penghancur ikan menjadi serpihan juga ia munculkan sebagai sindiran. Sayangnya, terselip adegan-adegan sadis yang tidak cocok dilihat oleh penonton anak-anak.
Meski begitu, The Mermaid mengajak kita untuk berkontemplasi mengenai hubungan manusia dan alam. Semua itu membuat kita tersadar bahwa eksploitasi alam gila-gilaan harus secepatnya dihentikan. Sebab, tanpa udara segar dan air bersih, semua kemakmuran di dunia sama sekali tidak ada gunanya. c34 ed: Endah Hapsari