Kamis 21 Apr 2016 14:27 WIB

Surat Cinta untuk Kartini, Kisah dari Sepucuk Surat

Red: operator

Jepara, 1901. Tanpa alas kaki, Sarwadi (Chicco Jerikho) mengayuh sepedanya dengan semangat untuk menuju ke kantor pos. Hari pertama Sarwadi sebagai pengantar surat berjalan dengan lancar. Saat itu, Sarwadi belum menyadari jika di antara banyak surat yang ia akan antarkan, ada satu surat yang akan mengubah hidupnya.

Surat tersebut tertuju untuk anak perempuan dari bupati Jepara kala itu, yaitu Raden Adjeng Kartini (Rania Putrisari). Sejak pertama kali melihat Kartini dari jauh, Sarwadi sudah jatuh hati. Tanpa ragu, Sarwadi yang cenderung periang dan lugu menanyakan perihal Kartini kepada kenalannya yang juga pelayan di rumah bupati, Bude Dewi.

Semenjak hari itu, Sarwadi kerap mencari cara untuk melihat Kartini tiap kali ia mengantarkan surat. Semakin lama Sarwadi memperhatikan Kartini, semakin dalam rasa cinta yang Sarwadi miliki untuk Kartini. Sarwadi bahkan tidak menggubris anggapan orang lain yang melihat Kartini sebagai sosok perempuan "aneh" karena memperjuangkan pendidikan untuk perempuan.

Sarwadi yang merupakan orang tua tunggal bahkan meminta anaknya, Ningrum, untuk belajar di bawah bimbingan Kartini. Sebagai rakyat jelata, Sarwadi melakukan berbagai upaya untuk menyediakan tempat belajar dan mengumpulkan anak-anak perempuan untuk belajar pada Kartini.

Kartini yang sejak lama ingin menjadi guru menyambut upaya Sarwadi dengan sangat baik. Meski hanya memiliki satu orang murid, yaitu Ningrum, Kartini tidak menyerah untuk terus mendidik anak-anak perempuan.

Memiliki kesempatan untuk bisa bertukar pikiran dengan Kartini membuat Sarwadi semakin memahami tekad kuat Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan pendidikan. Dengan cinta, Sarwadi pun berusaha melindungi dan mewujudkan mimpi Kartini bagi pendidikan perempuan.

Sayangnya, benturan adat dan keterbatasan kondisi pada saat itu membuat perjuangan Kartini menemui jalan yang berliku. 

Mengambil sudut pandang tokoh fiktif Sarwadi dalam menceritakan sosok Kartini memberi warna tersendiri dalam film historical Indonesia. 

Konflik dan pergumulan batin Kartini dalam memperjuangkan pendidikan yang disaksikan oleh mata Sarwadi pun terasa kuat dalam cerita Surat Cinta untuk Kartini sehingga film ini menjadi hidup.

Paduan antara masa lalu dan masa kini itulah yang membuat film yang digarap oleh sutradara Azhar Kinoi Lubis ini seolah membawa angin segar bagi industri perfilman.

Hal lain yang membuat Surat Cinta untuk Kartini patut mendapat apresiasi adalah sinematografinya yang sangat indah. Sinematografi yang halus dan lembut dalam film ini menimbulkan kesan puitis dan mendalam. Selain itu, Khikmawan Santosa juga berhasil menata musik latar yang membuat tiap adegan memiliki rasa yang berbeda dan terkesan hidup.

Detail budaya pada era 1901-1904 yang digambarkan dalam film ini juga benar-benar diperhatikan. Bahasa tubuh, kebiasaan bertelanjang kaki, hingga cara berbicara yang terlihat berbeda antara kasta ningrat dan rakyat jelata juga digambarkan dengan apik.

Film Surat Cinta untuk Kartini ini pun menjadi pembuktian kemampuan berakting para aktor dan aktris yang terlibat. Para aktor dan aktris mampu membawakan karakter masing-masing dengan natural. Chicco Jerikho misalnya, mampu menampilkan sosok yang berbeda dalam dua peran yang ia bawakan.

Pemeran Kartini, Rania Putrisari, yang merupakan pendatang baru pun mampu mengimbangi akting Chicco sebagai lawan mainnya. Dalam film ini, Rania berhasil membawakan perannya sebagai Kartini menjadi sosok yang kuat, independen, berkarisma, dan cerdas, namun tetap lembut dan berhati tegar.

Semua aspek dalam film Surat Cinta untuk Kartini juga didukung dengan gaya penceritaan yang baik. Saat menonton film produksi MNC Pictures ini, penonton seakan dibawa untuk menaiki roller coaster. 

Ini karena penonton diajak untuk tertawa, merasa marah, terenyuh, sedih, dan termotivasi secara bergantian. Dialog-dialog dan pesan yang berusaha disampaikan begitu kental menggambarkan perjuangan perempuan tangguh ini.

Dan, tentu saja, kita diajak untuk mengenang kembali kegigihan Kartini di balik sosoknya yang tampak lemah. "Semua orang mengira saya menyerah pada kodrat. Iya, saya tidak mengelak, tapi tidak semuanya benar. Saya akan menjamin anak dan cucu saya tidak mengalami nasib yang sama," kata Kartini mengungkapkan.  rep: Adysha C Ramadani, ed: Endah Hapsari

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement