Foto : dok. Athirah
Athirah (Cut Mini) berusaha tegar. Meski pernikahannya terguncang, dia enggan menyerah. Kabar yang beredar, sang suami memiliki istri kedua. Padahal, Athirah setia mendampinginya sejak awal pernikahan dan saat mereka merintis bisnis.
Ketegarannya sempat goyah ketika Athirah melihat langsung istri muda suaminya yang saat itu dibawa dalam suatu hajatan di Makassar. Tak terasa air mata mengalir. Anak-anaknya pun turut merasakan kepedihan hati sang ibu ketika bernyanyi bersama nenek mereka, Mak Kerah (Jajang C Noer).
Namun, Athirah sudah bersikap. Dia tidak suka dimadu. Konflik dalam keluarganya membuatnya justru semakin kuat. Athirah yang tegar memastikan kehidupan anak-anaknya tetap terjamin. Meski, untuk itu, dia harus terluka.
Anak lelaki tertua Athirah, Ucu (Christoffer Nelwan), melewati masa remajanya dalam kegamangan. Seraya mencoba memahami apa yang terjadi dalam keluarganya, Ucu jatuh cinta pada Ida (Indah Permatasari). Tetapi, usahanya mendekati Ida mengalami hambatan.
Penggalan kisah Athirah adalah cerita kehidupan nyata ibunda Wapres Jusuf Kalla, seorang perempuan Bugis yang kuat. "Athirah adalah kisah seorang ibu yang tetap teguh dan kreatif dalam mempertahankan kokohnya tembok rumah tangga. Ia mandiri dalam berusaha dengan berdagang di tengah badai perkawinan yang sangat berat," ungkap sutradara film Athirah, Riri Riza, dalam konferensi pers film ini di Jakarta, belum lama ini.
Diangkat dari novel karya Alberthiene Endah, Mira Lesmana dan Riri Riza lewat rumah produksi Miles Films menghadirkan kisah ini ke layar lebar sebagai film karya mereka yang ke-16.
Mengangkat lokasi di wilayah Sulawesi Selatan, film ini pun menghadirkan atmosfer budaya negeri Anging Mamiri yang kental. Di awal kisah, kita diajak untuk menyaksikan adat perkawinan masyarakat Makassar. Lewat para pemainnya, ada pula penampilan perempuan khas Makassar lengkap dengan sarungnya. Suguhan lain tersaji lewat makanan hingga dialek para pemain.
Kekuatan dialek itu terutama berkat kehadiran Arman Dewanti, seorang sutradara dan aktor asli Sulawesi Selatan, yang berperan sebagai sosok Haji Kalla. "Karena di skenario ini Riri Riza ingin memakai autentisitas dialek Sulawesi Selatan, sementara aksen Bone itu tidak mudah. Aksennya beda dengan aksen Makassar. Arman juga bisa membantu Christoffer dan Mini untuk dialek Makassar," ujar Mira.
Para pemain yang terlibat pun tampak menguasai karakternya. Cut Mini terlihat mampu menjiwai karakter ibu tegar yang terluka serta Jajang C Noer tampak menguasai dialek setempat dengan pas. Pemilihan aktor lokal untuk memerankan sosok Kalla pun tepat lantaran Arman pun tampak natural menjiwai karakternya.
Tiga kota
Untuk menuntaskan proses pengambilan gambar, seluruh tim membutuhkan waktu sekitar 31 hari yang dilakukan di tiga kota berbeda, yaitu Makassar, Sengkang, dan Pare-Pare. Lokasi utama film ini adalah rumah Athirah yang dibangun di Kota Makassar. Dibutuhkan sekitar 1,5 bulan untuk mengubah sebuah asrama mahasiswa menjadi rumah kuno era 1950-an, lengkap dengan perabotnya.
"Melihat begitu pesatnya perkembangan Sulawesi Selatan belakangan ini, kami sempat mengalami kesulitan untuk mencari perabot yang dibutuhkan saat itu. Akhirnya kami menemukan kolektor barang antik di Makassar yang bisa memenuhi apa yang kami butuhkan," ujar Riri.
Kendala lain adalah pembangunan kantor Haji Kalla yang berada di kawasan niaga. Lokasi aslinya sebenarnya ada di Makassar, tapi mereka tidak berhasil memperoleh lokasi itu di Makassar. Alhasil, untuk menemukan lokasi yang hampir mirip seperti cerita aslinya, mereka harus pindah sekitar 150 km ke utara Sulawasi, yaitu di Kota Sengkang. Kebetulan juga Sengkang merupakan penghasil kain tenun sutra Bugis–Makassar. "Jadi, akhirnya kami bangun dan menciptakan setting di Makassar," jelas Riri.
Saat ini film berdurasi 82 menit tersebut telah tayang di bioskop. Tetapi, tak hanya di Tanah Air, film ini juga ditayangkan di Vancouver International Film Festival, Busan International Film Festival, dan Tokyo International Film Festival. rep: Desy Susilawati antara ed: Endah Hapsari