Selasa 25 Oct 2016 14:00 WIB

Monita Tahalea, Si Pencinta Senja

Red:

Monita Tahalea kecil pernah sangat membenci senja. Menurut ia, senja identik dengan rasa sepi yang muram karena rumahnya sering kali kosong pada waktu tersebut.

Namun, seiring bertambahnya usia, perempuan berdarah Ambon-Austria-Manado itu mulai mengubah cara pandangnya. Lambat-laun Monita beralih jadi pengagum senja dan melihatnya sebagai simbol harapan.

Setelah dewasa, Monita memaknai senja sebagai peralihan dari satu hari ke hari yang lain. Selalu ada hari esok yang kembali hadir, matahari yang kembali terbit, sehingga ia termotivasi melakukan yang terbaik setiap harinya.

"Makanya aku bikin lirik lagu 'sejak saat itu langit senja tak lagi sama'," ungkap perempuan kelahiran 21 Juli 1987 itu mengutip lirik lagu hitnya yang berjudul "Memulai Kembali".

Kini ia tak bisa berhenti menakjubi keindahan senja ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia tak habis pikir berbagai warna kontras seperti merah, ungu, kuning, sampai oranye bisa menjelma kombinasi artistik di langit yang sama.

Tidak hanya kisah tentang senja, Monita gemar menuangkan banyak hal sederhana yang ia jumpai dalam karyanya. Itu tecermin dalam sembilan lagu di album terbarunya, Dandelion, yang dirilis pada Desember 2015.

Ia mengaku benar-benar menikmati dua tahun proses pembuatan album. Mulai dari pengumpulan materi, penggarapan musik, mendesain ilustrasi album, sampai rekaman semi live di studio yang dikerjakan bersama tim.

Lucunya, meski berjudul Dandelion, tak satu pun lirik lagu di album itu menyebutkan dandelion secara eksplisit. Pilihan nama itu rupanya punya filosofi tersendiri yang dipikirkan cermat oleh Monita.

Bunga yang tumbuh liar itu, kata Monita, sering disebut sebagai wish flower. Seseorang menyebutkan harapannya kemudian meniup dandelion yang serbuk sarinya akan menyebar terbawa angin dan tumbuh menjadi bunga baru di tempat lain.

Album Dandelion diharapkan bisa seperti dandelion, bunga liar cantik yang menyemangati banyak orang. Karya itu diharapkan bisa menumbuhkan harapan yang tak ada putusnya dan terus ditebar kepada sekeliling. "Musik itu bagi aku sebuah pesan, kita menyampaikan sesuatu lewat lagu walaupun nantinya bisa diinterpretasi berbeda oleh pendengar yang punya ceritanya masing-masing," kata penyanyi yang mendapat gelar sarjana dari Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Trisakti itu.

Sama seperti album sebelumnya, Monita menjaring inspirasi membuat lagu dari mana saja. Renungan masa lalu, keberhasilan, kegagalan, proses penantian, karier, sampai keluarga ia gubah jadi musik.

Ide itu disebutnya bermunculan saat ia berkegiatan seperti biasa, seperti saat membaca, melihat senja, bahkan ketika menunggu bus Transjakarta. Agar disiplin, Monita menjadwalkan waktu khusus untuk menulis di sudut kecil depan kamarnya.

Setiap pukul tujuh sampai sembilan pagi, Monita akan duduk di meja kerja mungilnya. Ia duduk, membaca, dan menuliskan apa pun yang terlintas dalam benaknya untuk nanti digubah menjadi karya.

Selama ini, lagu-lagu gubahan Monita terkenal dengan pilihan kata yang membuai. Salah satu lagunya yang berjudul "Bisu" juga sangat puitis dan dibuat setelah Monita membaca buku Tiga Menguak Takdir karya sastrawan Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani.

Jebolan Indonesian Idol itu mengaku tak pernah memikirkan hal itu dan menganggap proses menulis lagu selalu mengalir dengan sendirinya. Namun, ia juga mengakui, ia memang punya kecenderungan memakai kata bersayap dan tidak lugas menyampaikan pesan yang dimaksud.

"Bukan disengaja, tapi karena referensi membaca, ada bumbu dan embel-embel itu menurut aku malah yang bikin maknanya jadi lebih dalam," ucap penyuka karya Kahlil Gibran itu.

Selama ini, Monita tertarik dengan karya yang penuh dengan kiasan dan metafor alam. Sebab, semua itu membuatnya merasa lebih dekat dengan alam dan Sang Pencipta.

Kecintaan dan minat tinggi terhadap sastra mendorong Monita ingin berkarya di bidang tersebut. Selain mulai menyiapkan album baru untuk diproses tahun depan, Monita terpikir untuk membuat buku.

Musisi yang sudah menggemari baca tulis sejak usia SD itu telah banyak membuat cerpen dan menulis blog meski masih malu memublikasikannya. Namun, ia belum tahu apakah akan menulis buku fiksi, nonfiksi, atau kumpulan puisi.

"Masih harus banyak belajar lagi, riset, baca-baca tentang teknik penulisan dan diksi biar nanti enggak diprotes orang-orang," kata putri dari pasangan Johnny Alexander Tahalea dan Brigitta Margareth Rose Tahalea itu berseloroh.

Perempuan yang aktif dalam kegiatan youth movement itu juga ingin selalu berguna bagi sesama. Jika suatu saat ada kesempatan, ia sangat tertarik mengikuti program seribu guru yang membantu mengajar murid-murid di pelosok Indonesia.

Monita menyadari bahwa perjalanannya dalam segala bidang masih panjang. Bagaimanapun, ia bersyukur Tuhan telah memberikan kepercayaan berupa talenta menulis dan bernyanyi sebagai media mengungkapkan ekspresi. "Semisal aku berhasil mengatasi suatu masalah, bisa aku bagikan jadi pembelajaran bagi orang lain dalam bentuk tulisan atau lagu," tuturnya.   rep: Shelbi Asrianti, ed: Ichsan Emrald Alamsyah

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement