oleh: c73/c82/c57--JAKARTA -- Peringatan lengsernya rezim Orde Baru yang dipimpin mantan presiden Soeharto pada 16 tahun lalu diisi dengan beragam acara. Mulai dari aksi protes mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) hingga gelaran diskusi dengan sejumlah mantan pelaku Reformasi 1998.
Fungsionaris organisasi mahasiswa Universitas Trisakti mendatangi kantor Komnas HAM di Jakarta, Rabu (21/5). Mereka datang dengan membawa empat butir tuntutan penuntasan kasus HAM pascareformasi. Di Depok, Jawa Barat, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia memperingati 16 tahun lengsernya rezim Soeharto dengan diskusi bertajuk "Merawat Agenda Reformasi". Acara ini diisi pemutaran film Setelah 15 tahun dan diskusi bareng mantan aktivis yang terlibat peristiwa 1998.
Sekitar 25 mahasiswa yang terdiri dari aktivis BEM dan himpunan jurusan Universitas Trisakti datang ke kantor Komnas HAM dengan mengenakan jas almamater. Mereka memberikan tuntutan dalam bentuk baliho berukuran 3x2 meter.
Para mahasiswa juga memberikan delapan karangan bunga sebagai simbol harapan masing-masing fakultas di Trisakti dalam mengenang reformasi. “Minimal Komnas HAM sebagai lembaga pemerintah yang memperjuangkan HAM, bisa menjawab salah satu dari tuntutan kami. Setidaknya memberikan solusi,” tutur Menteri Tim Penugasan Kasus 12 Mei '98 dan HAM Kepresidenan Mahasiswa Trisakti, Giarto Cahyadi, kepada Republika, Rabu (21/5).
Dalam aksi damai tersebut, mereka menyuarakan empat butir tuntutan, yakni pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kesejahteraan bagi keluarga korban reformasi, menjadikan 21 Mei sebagai hari libur nasional, dan perubahan gelar pejuang Bintang Jasa Pratama menjadi Pahlawan Reformasi bagi empat mahasiswa Trisakti yang gugur pada 12 Mei 1998.
Sesampainya di Komnas HAM, massa Universitas Trisakti diterima Komisioner Komnas HAM Roihatul Aswida. Menurut Giarto, dalam pertemuan itu Komnas HAM memotivasi mahasiswa agar tidak menyerah berjuang. Komnas HAM juga mengajak mahasiswa untuk bersama-sama memperjuangkan penuntasan kasus tragedi Trisakti Mei 1998. “Dibutuhkan gerakan mahasiswa yang kuat untuk membantu menyelesaikan kasus tersebut,” kata Giarto mengutip Roihatul.
Ketua BEM Universitas Indonesia Ivan Riansa mengatakan, ada persamaan tahun ini dan 1998, yaitu momentum pergantian presiden. Namun, cara yang digunakan tentu berbeda. “Kalau dulu mengganti kekuasaan dengan menduduki gedung DPR/MPR melalui people power, sekarang tinggal berpartisipasi aktif mengkritisi siapa calon pemimpin ke depan,” kata Ivan.
Menurut Ivan, reformasi birokrasi terkait pemberantasan korupsi masih menjadi pekerjaan rumah. Ia berharap anak muda lebih kritis dan membekali diri dengan kemampuan yang memadai.
Selain kritis dan menjalankan fungsi kontrol sosial pemerintahan, mahasiswa juga harus berperan aktif menciptakan karya bermanfaat. Gerakan mahasiswa diharapkan mulai mengoordinasikan secara vertikal dan horizontal. “Langsung turun ke masyarakat, misalnya, membentuk komunitas sosial. Itu menjadi pergerakan yang kekinian dan harus diperhatikan,” ujar Ivan.
Bagi aktivis 98, reformasi saat ini dinilai berjalan sangat lamban, khususnya pada bidang pemulihan ekonomi dan kesejahteraan rakyat meski ada perbaikan dalam bidang politik dan demokrasi. Mantan aktivis mahasiswa era 1998, Alfanny, menegaskan terdapat kesenjangan agenda reformasi. “Akselerasi reformasi di bidang pemulihan ekonomi dan kesejahteraan rakyat sangat lambat dan memprihatinkan,” ujar Alfanny.
Keinginan rakyat dengan keinginan elite politik dan aktivis 98, kata Alfanny, jelas berbeda. Para elite politik menginginkan reformasi kelembagaan dan penerapan sistem demokrasi. Harus diakui reformasi telah melahirkan pemilu lima tahun sekali dan pembentukan lembaga-lembaga baru produk demokrasi, semisal Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, atau Dewan Perwakilan Daerah.
Namun, lanjut Alfanny, akselerasi pemulihan ekonomi dan kesejahteraan rakyat pascajatuhnya rezim Soeharto berjalan lamban. Indikator yang paling nyata adalah angka indeks pembangunan manusia (HDI) Indonesia yang masih di atas 100. Kesenjangan antara reformasi politik dan ekonomi ini sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia. “Jika hal ini dibiarkan, rakyat akan menuntut kembalinya Indonesia ke masa Orde Baru dahulu saat dipimpin Presiden Soeharto,” kata Alfanny.
Selain lambannya akselerasi reformasi ekonomi, Indonesia pascareformasi juga dinilai belum berdaulat sebagai bangsa yang besar. Indikatornya, menurut Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Addin Jauharuddin, pengesahan lebih dari 30 undang-undang proasing yang tidak berpihak kepada rakyat dan empat kali amendemen konstitusi yang masih menyisakan masalah.
Indikator lain, papar Addin, dahsyatnya liberalisasi ekonomi dan politik yang menyebabkan tercerabutnya akar budaya dan jati diri bangsa. Falsafah Pancasila sebagai identitas negara juga dinilai mulai luntur. Kenyataan ini sangat memprihatinkan lantaran menyebabkan Indonesia tidak memiliki kedaulatan pangan, energi, teritorial, dan regulasi.
Senada dengan Alfanny, Addin mengakui reformasi dalam bidang politik dan kehidupan demokrasi telah berjalan baik. Tuntutan reformasi, salah satunya penghapusan Dwi Fungsi ABRI, telah dipenuhi. “Kebebasan berorganisasi, berserikat, berpolitik, dan semakin kokohnya kebebasan pers serta proses regenerasi politik juga cukup baik," tutur Addin.
Menurut Addin, momentum Pilpres 2014 harus dimanfaatkan untuk memilih seorang pemimpin, bukan sekadar presiden. Presiden Indonesia mendatang memiliki tugas berat dan tanggung jawab utama mengembalikan kedaulatan negara yang hilang sejak reformasi 1998. ed: andri saubani