JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) 52/2014 tentang Pengadaan dan Standar Rumah Bagi Mantan Presiden dan/atau Mantan Wakil Presiden. Perpres itu telah ditandatangani pada 2 Juni 2014 dan diundangkan pada 4 Juni 2014.
Dalam Perpres ini disebutkan, mantan presiden dan/atau mantan wakil presiden yang berhenti dengan hormat dari jabatannya diberikan sebuah rumah kediaman yang layak. “Mantan Presiden dan/atau mantan Wakil Presiden hanya berhak mendapatkan rumah sebagaimana dimaksud sebanyak 1 (satu) kali, termasuk bagi mantan Presiden dan/atau mantan Wakil Presiden yang menjalani masa jabatan lebih dari 1 (satu) periode dan mantan Wakil Presiden yang menjadi Presiden,” bunyi Pasal 1 Ayat (2) Perpres tersebut.
"Intinya, rumah kediaman bagi mantan presiden dan wapres dianggap layak atau pantaslah untuk ditempati oleh para mantan presiden dan wapres," kata Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha, di Jakarta, Kamis (12/6).
Ia mengatakan, tak ada permintaan khusus dari diterbitkannya perpres tersebut, termasuk dari Presiden SBY maupun Wapres Boediono terkait pengadaan rumah setelah tak lagi menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Dalam perpres tersebut, ada berbagai perhitungan dan hal-hal yang dipertimbangkan bahwa sebuah rumah dikatakan layak huni bagi mantan pemimpin negara. "Untuk mendapatkan hak atas rumah tinggal yang layak dengan perhitungan luas tanah yang disesuaikan, saya kira itu sesuatu yang tidak berlebihan," katanya.
Menurut perpres tersebut, rumah kediaman yang layak adalah sebidang tanah berikut bangunan di atasnya yang memiliki kriteria umum. “Ketentuan lebih lanjut mengenai Rumah Kediaman yang layak, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan,” bunyi Pasal 2 Ayat (2) Perpres itu.
Contohnya, berada di wilayah Republik Indonesia (RI); berada pada lokasi yang mudah dijangkau dengan jaringan jalan yang memadai; memiliki bentuk, keluasan, dimensi, desain, dan tata letak ruang yang dapat mendukung keperluan aktivitas mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden beserta keluarga; dan tidak menyulitkan dalam penanganan keamanan keselamatan mantan Presiden dan/atau mantan Wakil Presiden beserta keluarga.
Sementara pada pasal berikutnya disebutkan, pelaksanaan pengadaan rumah dilakukan oleh Menteri Sekretaris Negara, dan harus tersedia sebelum Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut berhenti dari jabatannya.
Julian mengatakan, anggaran dan pajak rumah tersebut akan dibebankan kepada negara. Adapun perhitungan penganggaran untuk pengadaan rumah itu, dilakukan dengan cara perhitungan pengadaan tanah dengan mengalikan luas tanah dan nilai tanah pada saat penganggaran sesuai kriteria lokasi.
Sedangkan perhitungan pengadaan bangunan dilakukan dengan mengalikan luas bangunan dengan harga per meter persegi pembangunan rumah dengan kualitas baik.
Jika Presiden/Wakil Presiden meninggal dunia dalam masa jabatannya, Pasal 7 Perpres ini menegaskan, kepada janda/duda mantan Presiden dan/atau mantan Wakil Presiden diberikan rumah kediaman yang layak sesuai dengan ketentuan Perpres Nomor 52 Tahun 2014 itu.
Perpres ini juga menyebutkan, pengadaan rumah kediaman bagi mantan Presiden dan/atau mantan Wakil Presiden yang telah berhenti dari jabatannya, dan sampai dengan saat diberlakukannya Peraturan Presiden ini belum dilakukan pengadaan, menggunakan ketentuan Perpres ini.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Satya Yudha menilai, tunjangan rumah untuk mantan presiden dan wakil presiden itu sangat wajar. Menurutnya, hal ini sebagai bentuk penghargaan kepada mantan pemimpin bangsa. "Perpres itu kan dibuat untuk menghargai pemimpin bangsa. Siapa pun punya hak untuk mendapatkan fasilitas itu, meskipun lawan politik sekalipun," kata Satya.
Ia menambahkan, hal serupa juga berlaku di sejumlah negara seperti Amerika. Satya mengatakan, mantan presiden di AS diberikan hak-hak khusus sebagai bentuk tanda terima kasih. Namun, besarnya tunjangan tetap harus diawasi agar proporsional.
Koordinator Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Maulana menilai, pemberian tunuangan rumah untuk mantan presiden dan wakil presiden itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pengelolaan keuangan negara harus berdasarkan nilai keadilan dan kepatutan.
"Perpres itu jadi ironi, karena selama ini alokasi anggaran, infrastruktur belum semuanya patut dan kurang adil bagi ekonomi rakyat,” kata Maulana kepada Republika.
Ia meminta anggaran untuk pengadaan rumah yang jumlahnya maksimal Rp 20 miliar itu digunakan untuk menyejahterakan masyarakat. Misalnya, kata dia, untuk perbaikan transportasi publik. “Menjadi pemimpin negara adalah tugas pengabdian dan tidak seharusnya berharap imbalan ketika pensiun. Jadi, logika berpikir pejabat dan politikus itu harus diperbaiki,” paparnya.
rep:esthi maharani/meiliani fauziah ed: syahruddin el-fikri