Jumat 13 Jun 2014 12:00 WIB

Harapan yang Kembali Mekar di Mindanao

Red:

Tak ada ekspresi ketegangan di wajah Amina Rasul melihat keberadaan sejumlah pria berbaju loreng di Awang Airport, siang itu. Amina yang telah bertahun-tahun menyuarakan perdamaian itu lebih banyak diam saat melewati adangan tentara bersenjata laras panjang di satu-satunya bandar udara di Cotabato City, Filipina.

Amina baru terlihat sibuk setelah masuk ke mobil penjemput rombongan peserta konferensi internasional di ibu kota Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM) itu. Ia menjadi sasaran pertanyaan peserta konferensi lainnya. Maklum, wanita paruh baya itu satu-satunya peserta asli Mindanao di mobil tersebut.

Baru beberapa meter mobil penjemput berjalan, terpasang spanduk besar di depan pelataran parkir bandara bertuliskan 'Children Want Peace'. Tak jauh dari spanduk itu terdapat papan nama bertuliskan 'School of Peace'. "School of Peace termasuk wilayah yang dilarang untuk bertempur," papar Amina menjawab pertanyaan seorang peserta konferensi.

Cotabato City merupakan salah satu wilayah rawan konflik. Kota di sebelah barat Pulau Mindanao ini terbilang unik. Saat ARMM didirikan sebagai hasil perundingan damai antara Pemerintah Filipina dan milisi Muslim Moro pada 1989, Cotabato City didapuk sebagai ibu kota. Uniknya, Cotabato City justru tak masuk dalam wilayah ARMM, melainkan bagian dari wilayah Soccsksargen dan Provinsi Maguindanao.

Pada awal pembentukan ARMM, jelas Amina, mayoritas warga Cotabato City beragama Kristen. Namun, hasil sensus penduduk 2010 menunjukkan, 70 persen warga Cotabato City adalah Muslim. "Karena itu, sekarang ada tekanan besar untuk menjadikan kota ini sebagai ibu kota Bangsamoro," kata Ketua Philippine Center for Islam and Democracy itu.

Pembentukan ARMM yang terdiri atas lima provinsi pada 1989 belum mampu meredakan konflik di Mindanao. Insiden bentrokan antara militer Filipina dan milisi Moro kerap terjadi. Milisi Moro terbagi dua, yakni Moro National Liberation Front (MNLF) dan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Baik MNLF maupun MILF sama-sama menuntut otonomi lebih luas untuk mengatasi kesenjangan di Mindanao.

Awal tahun ini, tuntutan milisi Muslim Moro mendapat angin segar. Pemerintahan Presiden Benigno Aquino III menyetujui pembentukan entitas politik baru dengan nama Autonomous Government of Bangsamoro. Pembentukan pemerintahan Bangsamoro dimulai dengan penandatanganan Comprehensive Agreement on Bangsamoro (CAB) antara Pemerintah Filipina dan MILF pada 27 Maret 2014. Bangsamoro akan dipimpin seorang menteri utama dan jajaran kabinetnya dengan kewenangan otonomi penuh setara status negara bagian dalam sistem pemerintahan Amerika Serikat.

Meski kesepakatan damai telah tercapai, situasi di Cotabato City belum pulih sepenuhnya. Pemerintah Filipina masih mengerahkan kekuatan militer di tempat tertentu. "Tapi, sekarang sudah jauh lebih baik. Dua bulan lalu militer ada di mana-mana," ujar Wakil Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Sudibyo Markus.

Bagi yang terlibat langsung proses perdamaian di Mindanao, kehadiran pasukan militer adalah biasa. Namun, tidak bagi sebagian peserta konferensi yang tampak tegang melihat sejumlah tentara menenteng senjata laras panjang di lokasi konferensi. Pemerintah Filipina menerjunkan Special Forces untuk menjaga International Conference of Cotabato yang digelar Community Sant' Egidio dan Muhammadiyah di Notre Dame University, 6-7 Juni 2014.

Muhammadiyah aktif berpartisipasi dalam proses perdamaian di Mindanao sejak 2009. Bersama the Henry Dunant Center, Asian Foundation, Concilliation Resources, Pemerintah Jepang, Inggris, Turki, dan Arab Saudi, Muhammadiyah tergabung dalam International Contact Group (ICG) yang mengawal proses perundingan Pemerintah Filipina dan MILF. Menurut Sudibyo, kesepakatan damai harus dikawal agar tak sekadar kontrak politik.

Kenangan pahit

Bagi sebagian warga Mindanao, penandatanganan CAB pada 27 Maret 2014 merupakan mimpi yang lama dinanti. Meski sebagian yang lain justru sebaliknya. Bagi mereka, kesepakatan damai bisa mengulang tragedi enam tahun lalu.

Pada awal 2008, MILF dan Pemerintah Filipina di bawah Presiden Gloria Macapagal-Arroyo telah menyepakati pembentukan negara bagian Bangsamoro melalui Memorandum of Agreement on the Muslim Ancestral Domain (MOA-AD). Namun, pada 4 Agustus 2008, Mahkamah Agung Filipina menolak pemberlakuan MOA-AD. Akibatnya, ketegangan kembali terjadi di Cotabato Utara, Lanao del Norte, dan Sarangani yang menewaskan sedikitnya 30 orang. Pada 2008 hingga 2009, terjadi 43 kali konflik bersenjata antara militer Filipina dan pejuang Moro.

Ketegangan ini berpotensi kembali terjadi bila tindak lanjut CAB gagal terealisasi. Sebab, wilayah otonom Bangsamoro baru akan terbentuk jika Undang-Undang Bangsamoro (Bangsamoro Basic Law) disetujui parlemen Filipina. Berdasarkan cetak biru implementasi CAB, UU Bangsamoro dijadwalkan disetujui parlemen tahun ini. Tahun depan, otoritas transisi Bangsamoro menjalankan pemerintahan sementara menggantikan ARMM yang segera dibubarkan. Pemerintahan wilayah otonom Bangsamoro dijadwalkan efektif berjalan mulai 2016.

Cetak biru pembentukan pemerintahan Bangsamoro terancam berantakan bila ditolak parlemen. Sebagian anggota parlemen menyayangkan lambatnya penyerahan draf UU Bangsamoro oleh pemerintah ke parlemen. Otoritas transisi Bangsamoro menyerahkan draf UU itu kepada Pemerintah Filipina pada 14 April 2014. Namun, hingga kini pemerintah belum menyerahkannya ke parlemen.

Penasihat Presiden untuk proses perdamaian Teresita Quintos-Deles menyatakan, lambatnya proses penyerahan draf UU Bangsamoro akan memengaruhi proses perdamaian. Namun, ia optimistis parlemen akan mendukung. "Lamanya waktu untuk merevisi UU Bangsamoro bukti bahwa pemerintah sangat serius," kata Teresita.

Ketua Panel Perunding Pemerintah Filipina Miriam Coronel Ferrer menyebut wajar jika ada yang mengembuskan isu negatif dalam proses politik perdamaian Mindanao. Presiden, katanya, akan turun tangan langsung untuk menggalang dukungan di parlemen.

Ketua Panel Perunding MILF Mohagher Iqbal mengakui, penandatanganan CAB bukan babak akhir perjuangan Bangsamoro. CAB baru awal perjuangan mewujudkan perdamaian. "Kami yakin parlemen mendukung UU Bangsamoro," ujar pria yang juga menjabat ketua otoritas transisi Bangsamoro.

Terkait proses politik yang memanas, Amina berharap pemerintah dan MILF mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Konflik berkepanjangan telah menghancurkan sendi kehidupan masyarakat Mindanao, khususnya ARMM.

Berdasarkan data Magbassa Kita Foundation (MKFI), ARMM merupakan wilayah termiskin di Filipina. Pada 2009, persentase warga di bawah garis kemiskinan mencapai 45,9 persen. Angka itu jauh dari rata-rata persentase warga miskin di Filipina yang 26,5 persen. Di wilayah Metro Manila, misalnya, persentase warga miskin tercatat 4,0 persen pada 2009.

Di sektor pendidikan, konflik bersenjata melahirkan ribuan anak putus sekolah. Berdasarkan data Badan Statistik Nasional Filipina pada 2011, sedikitnya 600 ribu warga ARMM usia dewasa buta huruf. Angka itu separuh dari 1,294 juta warga ARMM yang tercatat punya hak suara dalam pemilu nasional.

Rektor Notre Dame University, Eduardo Tanudtanud, mengatakan, penandatanganan CAB menumbuhkan kembali harapan masyarakat akan terwujudnya perdamaian di Mindanao. Selain mengawal proses politik, tak kalah penting adalah menciptakan iklim kondusif di akar rumput. "Saya tak ingin melihat lagi murid-murid saya saling berhadapan di pertempuran," kata Eduardo.

Sekjen Community of Sant' Egidio, Alberto Quattrucci, menilai, dialog merupakan kunci utama menuju perdamaian. Umat Islam, Kristen, dan pribumi harus bisa bekerja sama. "Dialog akan menumbuhkan rasa percaya diri pada masyarakat bahwa mereka bisa hidup berdampingan," paparnya.

rep:adi wicaksono ed: nur hasan murtiaji

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement