Suara tembakan dan bom bergemuruh. Pesawat-pesawat yang terbang terlihat menjatuhkan bom yang segera meledakkan perkampungan. Perempuan dan anak-anak berteriak. Seketika terlihat pemandangan negeri dengan gunung menjulang dan persawahan hijau. Musik yang bergemuruh segera terdengar mengakhiri pemutaran trailer film animasi berjudul, Battle of Surabaya itu.
Film itu dibuat fiksi, tapi menyertakan sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Siapa sangka film animasi berkelas Hollywood itu justru buah karya mahasiswa-mahasiswa STMIK AMIKOM Yogyakarta.
Dengan memasukkan budaya Indonesia, film itu dibuat sarat makna dan filosofi. Dengan tokoh utama seorang anak bernama Musa (13 tahun), film itu ingin menginspirasi siapa saja bisa menjadi pahlawan. Meskipun bukan pahlawan layaknya Bung Tomo dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
"Basisnya kultur. Dengan memasukkan tokoh berkarakter budaya Indonesia. Namun, desainnya harus terintegrasi secara universal agar bisa diterima masyarakat global," kata Ketua STIMIK AMIKOM Yogyakarta, M Suyanto, menjelaskan saat mengisi acara Edutalk yang digelar Harian Republika di Pendopo Kemang, Jakarta, Rabu (18/6).
Menurut Suyanto, produksi film itu harus didukung oleh rumah produksi animasi terbesar di dunia, yakni Walt Disney, agar bisa memasuki pasar dunia. Namun, melalui penokohan pada film, dia tidak menghilangkan karakter budaya bangsa Indonesia. Sedangkan untuk pemasaran, harus menggaet Hollywood. "Kuncinya pada SDM dan cita rasa Indonesia, namun dengan teknologi Hollywood," ujarnya.
Ternyata untuk masuk ke Hollywood bagi Suyanto tidak terlalu sulit. Cukup dengan sutradara dari Hollywood dan naskah standar Hollywood. Saat ini, Battle of Surabaya masih dalam tahap penggarapan dengan memunculkan trailer lebih dulu. Bahkan, trailer Battle of Surabaya sudah meraih juara dalam ajang Indigo Fellowship PT Telkom 2012, juara Digital Animation Inaicta 2012, juara International Movie Trailer Festival 2013, serta masuk nominasi Golden Trailer Awards 2014.
Suyanto menilai, hadirnya film animasi Battle of Surabaya bisa mendukung pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Selain itu, juga berpotensi mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. "Anak-anak Indonesia itu mampu. Buktinya Battle of Surabaya sudah dilirik Hollywood," ujar Suyanto. Tak ayal film itu layak disejajarkan dengan film animasi, seperti Shreek, Cinderella, dan Thor.
Animasi menjadi prioritasnya lantaran industri film mempunyai peluang cukup besar di dunia. Sesuai data dari Motion Picture Association of America 2014 pada Theatrical Market Statistics 2013, keuntungan yang diraih pada global box office seluruh film pada tahun lalu mencapai 35,9 miliar dolar AS.
Perjuangan Suyanto dalam mengembangkan film animasi karya anak bangsa tidak semudah membalikkan telapak tangan. Awalnya, dia membuat beberapa film animasi untuk pasar televisi nasional. Namun, saat dia menawarkan, semua stasiun televisi menolak untuk menayangkan film animasi karya mahasiswanya. "Alasannya hanya takut rating-nya rendah. Padahal, di balik itu kita bisa mengembangkan kreativitas anak-anak. Saya berpikir kenapa tidak ke Hollywood saja," papar Suyanto.
Dalam pembuatan film itu melibatkan sejumlah mahasiswa, dosen termasuk Suyanto, dan beberapa orang yang pernah menggarap film di luar negeri. Selain Battle of Surabaya, satu lagi film karya mahasiswa STIMIK AMIKOM yang dilirik Hollywood, yakni Fire and Ice.
Melalui film animasi, Suyanto berusaha mengembangkan industri kreatif di Indonesia. Selain sejumlah program studi lain di STIMIK AMIKOM, seperti teknologi informasi dan komunikasi, komputerisasi akuntansi, bisnis, dan periklanan. "Tujuan utama kampus kami bukan akreditasi, melainkan mencetak lulusan menjadi entrepreneur," katanya menegaskan.
Selain dari sisi akademik, pengembangan industri kreatif menurutnya juga harus didukung oleh pemerintah, komunitas, dan bisnis. Jika keempatnya bersinergi, akan menghasilkan konten yang unik dan berdaya saing.
Vice President Innovation Strategy and Sinergy PT Telkom, Saiful Hidajat, mengatakan, Indonesia menjadi pasar industri kreatif sangat besar dengan belanja pendudukan 2 sampai 50 dolar AS per hari. Menurutnya, akademisi berperan dalam melakukan penelitian dan menghasilkan lulusan yang profesional. "Pemerintah dan komunitas memfasilitasi pengembangan industri kreatif, kemudian output-nya dimanfaatkan oleh industri," kata Saiful menjelaskan dalam kesempatan yang sama.
Dalam mendukung industri kreatif, sejak 2009 PT Telkom telah melakukan penjaringan startup dan memfasilitasi pengembangan insan kreatif. Mereka dikumpulkan dalam creative camp, creative center, dan creative capital untuk mencari ide baru dan segar. Hingga 2014, PT Telkom telah membangun 20 lokasi creative care tersebar di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi.
"Telkom membantu industri startup, harus menghasilkan sebuah comercial value sehingga bisa dinikmati orang lain," ujar Saiful menambahkan.
Acara diskusi Edutalk bertajuk "Peran Perguruan Tinggi dalam Membangun Industri Kreatif Berbasis IT" tersebut menghadirkan keynote speaker Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh. Dia sangat mendukung pengembangan industri kreatif untuk memajukan bangsa Indonesia. Namun, industri kreatif, menurutnya, tidak mungkin tumbuh kalau lingkungan tidak memberi dukungan.
"Kalau lingkungan tidak mendukung, tidak bisa. Sistem harus dibangun untuk mendorong kreativitas masyarakat," kata Nuh.
Pemimpin Redaksi Harian Republika, Nasihin Masha, mengatakan industri kreatif mulai menjadi tren saat ini. Bahkan, krisis di Amerika tidak memengaruhi industri kreatif di sana. Dia berharap industri kreatif bisa mengubah lanskap dan wajah bangsa Indonesia menjadi lebih maju dan berkompetensi.
"Indonesia sangat kaya potensi dan kaya budaya sehingga tidak akan kehabisan ide. Industri kreatif tidak butuh modal," kata Nasihin.rep:c87 ed : subroto