Selasa 24 Jun 2014 15:00 WIB

Menata Kota Berkelanjutan (Bagian I): Daur Ulang Kota Terjadi di Marseille

Red:

oleh:Irfan Junaidi(Prancis) -- Prancis akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan konferensi perubahan iklim (UNFCCC COP 21) pada Desember 2015 dengan tema "Pembangunan Berkelanjutan dan Ekonomi Hijau". Sebagai upaya persiapan, Prancis mengundang wartawan dari tiga surat kabar di Indonesia, termasuk Republika, pada 31 Mei-8 Juni 2014. Berikut adalah gambaran soal langkah-langkah yang ditempuh Prancis dalam merawat bumi.

Para pedagang ikan terlihat sibuk menawarkan dagangannya di tepi Laut Mediterania. Mereka berbaris rapi di dekat Pelabuhan Marseille yang terlihat rapi. Pelabuhan tersebut menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal pesiar dan kapal penumpang.

Area sekitar Pelabuhan Marseille ini merupakan wilayah terpadu yang di dalamnya juga terdapat pusat perbelanjaan modern dan ruang publik. Selain itu, juga terdapat bangunan museum berbentuk kubus dengan warna dominan hitam. Jalanan di sepanjang area tersebut diapit trotoar yang dihiasi pepohonan rimbun.

Marseille adalah kota kedua terbesar di Prancis setelah Paris. Kota ini memiliki hamparan seluas 240,62 kilometer persegi. Kota berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa ini dikelilingi bebukitan dan berbatasan langsung dengan Laut Mediterania. Wilayah ini menjadi salah satu pintu masuk Prancis dari wilayah selatan. Para imigran dari wilayah Afrika masuk Prancis melalui pintu ini.

Kota ini termasuk kota yang memulai peradabannya sejak era sebelum Masehi. Pada abad ke-20, kota ini menjadi wilayah terpenting perdagangan dunia. Pelabuhan Marseille menjadi pelabuhan paling sibuk di dunia. Kolonisasi Prancis pada 1906 hingga 1922 menjadikan arus barang yang masuk dan keluar melalui Pelabuhan Marseille sangat tinggi.

Begitu memasuki Perang Dunia II, kota ini banyak mengalami kerusakan. Sejak saat itu, kejayaan Marseille mulai surut. Hingga 1960-an kota ini berada dalam kondisi tak stabil. Perekonomian di wilayah ini berjalan melambat. Imigran yang masuk pun semakin banyak.

Sisa-sisa bangunan berupa pelabuhan, pabrik, stasiun kereta api, perumahan, dan yang lain teronggok diam ditinggalkan penghuninya. Bangunan-bangunan itu makin lama makin rusak dan tidak terawat. Pada masa lalu, penataan seluruh wilayah kota sangat berorientasi pada industri dan perdagangan.

Mesin-mesin pabrik dan mesin kapal yang membuang emisi, pada masa lalu berlomba terus memutar ekonomi wilayah ini. Perputaran mesin baru melambat seiring dengan kahancuran yang dialami kota tersebut. Bangunan-bangunan industri yang mulanya ramai pun menjadi sepi.

Jika terus dibiarkan, bangunan-bangunan kosong akibat surutnya Marseille ini tidak akan bernilai produktif. Perekonomian kota pun menjadi tetap lesu. Pada 1995, tercetuslah ide untuk mendaur ulang kota ini supaya bisa kembali mengalami masa kejayaan. Lembaga bisnis Euromediteranee menjadi perintis penataan kembali Marseille.

Sejak 1995 lembaga ini mendapatkan mandat khusus dari pemerintah setempat untuk menata kembali Marseille. Untuk merumuskan penataan kembali kota seluas 240 kilometer persegi itu, Euromediteranee perlu waktu bertahun-tahun. Proses penataannya pun tidak dilakukan sekaligus, tapi dibuat bertahap.

Secara umum, kota ini terbagi menjadi dua karakteristik wilayah yang berbeda. Wilayah utara Marseille merupakan wilayah industri dan tempat tinggal para pekerja. Sedangkan, wilayah selatan kota merupakan area perumahan mewah tempat warga kaya tinggal.

Direktur Proyek Euromediteranee Alexandre Sorrentino mengungkapkan bahwa proses penataan kembali Marseille sangat memakan waktu. "Wilayahnya tidak rata dan tanahnya berupa batu cadas," ujar dia. Saat proyek penataan kembali diluncurkan, kondisi ekonomi Marseille sedang terpuruk.

Karena itu, dia mengungkapkan bahwa langkah pertama yang pernting dijalankan adalah membuat roda ekonomi kembali berputar. Tidak hanya menata ruang, proyek tersebut juga mempertimbangkan upaya penciptaan lapangan kerja untuk mengikis pengangguran yang saat itu tinggi.

Penataan ulang juga dijalankan untuk mengembalikan prestise kota tersebut seperti pada masa lalu. Salah satu prioritas untuk bisa mengembalikan kejayaannya, proyek tersebut menjadikan Pelabuhan Marseille sebagai objek penataan. Pelabuhan Marseille ingin dijadikan kembali pintu utama Eropa ke seluruh wilayah Mediterania.

Proyek ini dibiayai anggaran publik yang dikelola oleh Euromediteranee. Kemudian dana tersebut dimanfaatkan untuk membeli tanah yang saat itu masih murah. "Kami beli tanah-tanah pelabuhan, pabrik, bekas-bekas perumahan, dan sebagainya," ujar dia.

Kemudian, tanah yang telah dibebaskan itu didesain untuk menjadi wilayah perkotaan yang memenuhi keinginan untuk menghidupkan kembali perekonomian dan kejayaan Marseille. Desain kota juga memperhatikan keperluan warganya akan pendidikan, tempat wisata, ruang terbuka hijau, serta museum. Desain itu kemudian menjadi patokan pengembangan kota tersebut.

Setelah tanah tersedia dan desain yang dilakukan per bagian disiapkan, barulah investor diundang masuk untuk membangun perumahan, perkantoran, dan pusat-pusat perbelanjaan. Mereka berdatangan membangun apartemen dan menjualnya kepada masyarakat.

Pola pengembangan kota seperti ini menjadikan ekonomi Marseille terakselerasi. Dari proyek itu, hingga saat ini tercipta 700 unit bisnis dan 20.500 lapangan kerja baru. Selain itu, juga terbangun sedikitnya 4.000 rumah tinggal. Kini, Marseille menjadi kota yang terus tumbuh. Pelabuhan sudah tertata rapi dan pusat perbelanjaan pun menjadi sangat hidup.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement